Wito dari semalam terus saja marah dan mengomel. Bagaimana tidak? Luna, anak itu pergi dan belum kembali dari pagi hingga malam larut menuju pagi lagi sampai sekarang.
Sekarang Wito, Lana dan Deo sedang ada di meja makan. Mereka semua saling terdiam satu sama lain sambil menyantap makanan yang baru saja dipesan online.
"Saya tidak akan mengampuni anak itu, apapun itu saya tidak akan mengampuninya. Bisa-bisanya dia kabur dari sini," gumam Wito penuh emosi yang terpendam.
Lana melirik suaminya. Dia kini malah ikut-ikutan menggumam marah.
"Iya Mas, aku juga tidak akan mengampuni anak itu. Kalo dia pulang nanti, aku pastikan rambutnya akan rontok semuanya," gumam Lana kesal.
Deo? Dia hanya diam.
Perasaan bersalah kini hadir dalam hatinya. Niat hati ingin menolong adiknya, malah kini dia sendiri yang menjerumuskan Luna ke dalam masalah yang lebih besar lagi.
Deo pun kini cemas. Dia sekarang tidak tau di mana keadaan adiknya. Di mana Luna? Kemana dia kabur dari rumah sakit? Jika ke sekolah, terus kenapa sekarang dia belum pulang?
Deo menyesal.
Drt....drt....
Ponsel Deo bergetar, dia segera mengangkatnya karena panggilan itu berasal dari rumah sakit, tempat di mana Luna dirawat sekarang.
"Hallo, apa benar ini dengan Mas Deo?"
Deo merasakan ada hal ganjal dari sana. Dia segera membalas ucapan suster tersebut. "Benar Suster, kenapa, ada apa dengan adik saya?"
"Maaf Mas Deo, adik anda yang bernama Luna Areva tidak ada di dalam kamarnya. Dia sepertinya melarikan diri dari rumah sakit ini."
Deg!
Deo terkejut mendengar tutur kata Suster itu. Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak Sus, adik saya gak mungkin kabur. Coba Suster cari dia ke toilet, mungkin dia lagi--"
"Maaf ya Mas Deo, tetapi pihak rumah sakit sudah mencari keberadaan adik anda, tapi kami tidak bisa menemukannya. Mungkin, saya hanya ingin menyampaikan itu saja."
Telpone pun dimatikan. Deo kini hanya bisa merenung meratapi semuanya. Kenapa ini bisa terjadi?
"Deo, kamu harus cari keberadaan adik kamu si pembawa sial itu," ucap Lana tegas.
Deo melirik ke arah ibunya. "Deo sibuk Bun."
Lana menghembuskan napas panjang. Tangannya bergerak mengelus rambut putranya penuh sayang.
"Ya udah, maafin Bunda ya sayang, sudah mengganggu waktu kamu."
Deo terdiam. Dia kini mulai perlahan mengerti dengan kondisi rumahnya.
Deo yang selalu disayangi.
Luna yang selalu dibenci.
"Bun, kenapa Bunda benci banget sama Luna?" tanya Deo memberanikan mentalnya.
Lana menaikan satu alisnya. "Kenapa? Kenapa kamu tanya soal ini sama Bunda? Biasanya kamu cuek-cuek aja sama adik sialan mu itu."
"Dengar Deo, kamu tau kan Ayah kamu benci orang lemah? Adik kamu itu lemah, dia tidak kuat seperti kamu. Ayah kamu itu butuh seorang pewaris lelaki untuk meneruskan perusahaan yang sudah turun temurun itu. Tidak ada yang bisa diandalkan dari adikmu Luna Deo."
Deo menundukkan kepalanya. Dengan tangan gemetar dan dada yang sesak. Dia berani berbicara. "Yang lemah itu kita semua Bun, Yah. Justru orang yang paling kuat itu adalah Luna di rumah ini."
Brak!
Wito menggebrak meja makan dengan sangat keras. "Dia itu perempuan! Dia lemah dan tidak bisa diandalkan!"
Deo kini melirik ayahnya. "Luna pinter Yah, dia sempurna."
Wito kehabisan kesabarannya, kini dia berdiri dan menghadap ke arah putranya.
"Berdiri kamu!" titah Wito.
Deo menurut, kini tubuhnya berhadapan langsung dengan tubuh ayahnya.
Plak!
"MAS!" teriak Lana kaget saat Wito berhasil menampar Deo.
Saat Lana hendak berjalan menghampiri Deo, Deo segera mengangkat tangan ke arah Lana. Memberi kode pada sang ibu, agar dia tidak usah mendekat dan iku campur.
Lana pun kini diam di tempatnya.
"Kamu tau, pemimpin itu harus laki-laki! Harus orang yang kuat gak lemah! Harus punya kekuatan dalam usaha! Dan Ayah sudah percaya sama kamu Deo, kenapa kamu malah membahas anak sialan itu hah!" bentak Wito.
Deo menatap wajah Wito penuh rasa kesal. "Wanita juga bisa jadi pemimpin Yah! Wanita jauh lebih kuat dari laki-laki! Contohnya Luna? Dia udah ditampar, dijambak, dicambuk, tapi apa? Dia tetep peduli sama kita keluarganya kan? Itu yang namanya kuat Yah! Ayah percaya sama Deo? Tapi sekarang Deo berubah pikiran, kayanya Deo udah gak mau jadi penerus perusahaan Ayah! Deo gak mau jadi orang keras kaya Ayah!"
Plak!
"Berani membantah sekarang kamu Deo!" bentak Wito.
Deo tersenyum kecil. "Ternyata, Ayah itu keras kepala dan egois. Hanya mementingkan diri sendiri. Udah, Deo mau berangkat."
Deo segera berjalan menjauhi meja makan. Keluar dari rumah dan segera pergi meninggalkan rumah dengan motor ninjanya.
"Mas, kamu gak boleh nampar Deo!" ucap Lana kesal.
Wito hanya diam saja menanggapi ucapan istrinya.
🌑🌑🌑
Deo sudah berada di warung tongkrongan Gengnya. Di sana sudah ada banyak sekali para lelaki berandal yang termasuk anggota Geng Deo.
Terlihat salah satu sosok lelaki berambut pendek berjalan menghampiri Deo. Dia bahkan menepuk-nepul bahu Deo.
"De, lo semalem dapet chat gak?"
Deo menaikkan satu alisnya. "Itu lo?"
Lelaki itu tersenyum kecil. "Yoi."
Deo menepis tangan lelaki itu. "Kenapa lo lakuin itu? Lo ngintai adik gue?"
Lelaki itu terkekeh. "Santai De, gue gak jahat. Gue saat itu cuman pikirin kalo cewek tu adik lo, gue juga gak tau kenapa gue lakuin itu. Yang pasti, gue cuman mengabadikan dia lewat foto sih. Lo pernah bilang, kalo dia gak dibolehin makan, nah... Gue keinget sama ucapan lo itu. Yaudah, gue asal jepret aja sih. Emang kenapa?"
Deo berdecak kesal. "Ck, harusnya lo gak usah urusin masalah keluarga gue."
"Sorry De, guekan gak tau."
"Tapi De, adik lo cantik juga tuh, boleh lah gue PDKT-an sama dia," ucapnya menaik-turunkan alisnya.
Deo menggeleng kuat. "Tukang mabok gak usah deketin adik gue."
"Yaelah pelit amat."
Deo kepikiran satu hal. Dia menepuk-nepul bahu temannya itu. "Lo mau gak bantuin gue?"
"Bantuin apa?"
"Lo harus cari tau di mana keberadaan adik gue, gimana?"
Bagaimana part ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna Areva | Selesai✔️
Novela JuvenilFOLLOW SEBELUM BACA!! REVISI✔️ Jadi bagaimana aku bisa pulang jika rumahku saja sudah dibuat hancur berantakan oleh orang-orang di dalamnya. Rumah yang seperti apalagi yang harus aku percaya? "Kapan aku bahagia... Kapan waktu itu datang... Kapan sem...