BAB 10

2K 122 4
                                    

“Kenapa Pah? Kenapa Luna kaya gini?!"

•~•










🌕️🌕️🌕️

Sakti masuk ke dalam rumah. Wajahnya di penuhi luka babak belur berwarna ungu. Sakti berkelahi, itu sudah sangat jelas. Karena tak ingin ada yang melihat, Sakti mengendap-ngendap berjalan pelan menuju anak tangga. Tak ingin, jika Kia atau Andi melihat Sakti dalam keadaan bonyok seperti ini.

Namun, sepertinya do'a Sakti tidak dikabulkan Tuhan.

"Sayang, udah pulang," tegur Kia.

Mampus’ batin Sakti.

Sakti menghentikkan langkah kaki itu. Tubuhnya menegang kaku. Dengan ragu, Sakti menoleh ke arah Kia.

"Mm... Itu Mih, tadi--"

"Astagfirullah! Itu mukanya kenapa?!" teriak Kia kaget. Bergegas dia menghampiri Sakti yang ada di dekat tangga. Ia memegang pelan wajah putranya.

Sakti meringis. Menahan sakit di permukaan pipinya. Menepis pelan tangan Kia dari wajah itu. "Sakti gak papa Mih, mm... Biasalah anak muda."

Kia melotot. "Biasa gimana maksud kamu! Ini tuh muka kamu bonyok, kamu bilang biasa gitu?"

Sakti terkekeh. "Maaf atuh Mih."

"Gak! Mamih bakal maafin kamu, kalo kamu udah selesai diobatin. Ayo, sini Mamih obatin lukanya. Liat dong, sampe ungu gitu warna pipi kamu ih," omel Kia cemas.

Sakti mengangguk. "Iya Mamih sayang."

Kia menarik tangan Sakti, membawa putranya ke arah sofa dan menyuruhnya untuk diam, seraya Kia pergi untuk mengambil es batu sebagai kompresan wajah Sakti.

Kia sudah kembali, dengan es batu di balut kain putih di tangan kiri. Mendekati Sakti, dan duduk di sampingnya, untuk mulai mengompres luka memar yang ada di wajah putranya.

"Mamih kan udah bilang, jangan berantem Sakti... Mamih gak suka loh kamu kaya gitu, apalagi main gak jelas," ucap Kia tegas.

Sakti merintih sakit di sela-sela kompresan Kia.

"Mih, Sakti berantem juga ada sebab kok di baliknya. Sakti gak mungkin berantem sama orang tanpa maksud tertentu. Mamih jangan cemas, Sakti bisa jaga diri kok." Sakti menggenggam tangan Kia.

Kia menggelengkan kepala takut. "Tetep aja, Mamih gak tenang kalo liat kamu terluka kaya gini. Mamih takut...."

Sakti tersenyum dan mengangguk. Ia tau, bahwa sekarang ini Kia sangat cemas kepadanya. Sakti menarik tubuh Kia, lalu dipeluknya penuh sayang.

"Mamih tenang yah, Sakti gak apa-apa."

🌑🌑🌑

Jika di sana Sakti sedang berpelukan dengan Kia, lalu bagaimana dengan Luna saat ini? Apa sama indahnya dengan yang Sakti rasakan?

Jawabannya tidak.

Plak!

Satu tamparan. Tamparan yang membuat air mata Luna kembali jatuh ke permukaan wajahnya. Dia menatap Wito penuh tanda tanya.

"Pah... Kenapa Papah tampar Luna?" tanya Luna bingung.

Wito mendekati Luna. "Masih nanya kamu! Masih berani tanya kamu, hah!" bentaknya.

Luna mengangguk. "Iya, Pah... L-luna nanya karena L-luna gak tau, salah Luna apa?"

Wito menjambak rambut Luna dengan kasar. Menimbulkan sakit yang amat mendalam bagi Luna.

"S-sakit... Pah...."

Wito mendekatkan wajahnya pada Luna. Agar anak ini bisa mencerna setiap ucapannya.

"Kamu tanya, di mana salah kamu, iya?!"

"Salah kamu itu, yaitu karena kamu udah lahir ke dunia ini!" bentak Wito melepas jambakan dengan cepat.

Tubuh Luna terhuyung. Dia terjatuh ke atas lantai, bersamaan dengan datangnya Deo juga Lana ke dalam rumah itu.

"Pah, ada apa ini?" tanya Lana.

Deo menatap Luna, lalu beralih ke arah ayahnya. "Papah Kenapa?"

Wito menoleh. "DIA BUAT SIAL SAYA LAGI! SAYA KALAH SAING KARENA DIA!" teriak Wito.

Luna jelas kaget. Dia menatap Wito penuh dengan kesedihan di dalamnya.

"P-pah... Kenapa Luna yang di salahin?" tanya Luna bergetar menangis, masih dalam keadaan terjatuh.

Prang!

Wito memecahkan piring yang berada di atas meja makan. Dia mendekati Luna dan mencengkram wajahnya.

"Kamu tanya, kenapa kamu yang salah di sini? Biar saya kasih tau sama kamu, kamu itu pembuat sial bagi rumah saya dan keluarga ini! Kamu itu benar-benar pembawa masalah!" bentak Wito.

Wito melepas cengkramannya. Berjalan menjauhi Luna, dan bergabung dengan Deo dan Lana.

Luna melirik mereka bertiga. Pokusnya hanya tertuju pada Wito.

"L-luna gak tau apa-apa... Kenapa Papah selalu kaya gini... Kenapa Pah?"

Lana tertawa kecil. "Kamu tanya kenapa? Sadar dong, kamu itu titisan setan, jelas kamu pembawa sial bagi keluarga ini. Jangan banyak nanya, kalo kamu gak ingin bertambah terluka, paham! Bereskan rumah sekarang. Sekalian, pecahan piring tadi. Ayo Pah, Deo, kita naik ke atas."

Deo tersenyum miring. "Rasain lo. Makan tuh piring."

Mereka bertiga pergi. Meninggalkan Luna, dengan berbagai sayatan pisau menusuk ulu hati yang paling dalam. Luna menundukan kepala, dan melanjutkan tangisannya. Kenapa? Kenapa Luna selalu menangis?

"Papah... Kenapa Luna kaya gini? Bunda... Kak Deo, Luna ingin sekali di sayang kalian...."

Luna melamun. Dia masih dalam keadaan menangis.

"Kenapa, takdir Luna kaya gini? Kenapa Luna berbeda dari yang lainnya? Tuhan... Jemput saja Luna... Bawa Luna pergi dari sini, Luna mohon...."



































Bagaimana part ini?

Tertandai Myawd_013🌻

Follow Ig
@Myawd_013

⚪️⚪️⚪️

The next part➡️

Luna Areva | Selesai✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang