9 bulan kemudian.Sakti duduk di tempat favoritenya. Atap sekolah yang selalu menjadi tempat kenangan antara dia dengan Luna dulu. Tempat di mana mereka lebih mengenal satu sama lain. Sakti hanya diam tidak bergerak. Memandang lurus ke depan melihat pemandangan kota dari atas sana. Gedung sekolah memang cukup tinggi. Jadi dia bisa melihat rumah-rumah dari atas sini.
Sakti menghembuskan napas panjang. "Rasanya masih mimpi aja Lun, kalo kamu beneran udah gak di samping aku sekarang."
***
Sakti berjalan di koridor sekolah. Bel pulang sudah berbunyi, dia berjalan menuju parkiran. Ingin segera sampai di tempat yang akan dia tuju saat ini juga.
Belum sampai di parkiran, seseorang memanggil namanya.
"Sakti!"
Bimo berlari ke arah sahabatnya. "Lo mau ke mana?"
Sakti tersenyum kecil. "Jenguk pacar."
Sakti menaiki motor. Sebelum pergi dia menepuk bahu Bimo dan berkata,"Gue baik, gak usah cemas, gue cabut ya."
Bimo mengangguk, membalas menepuk bahu Sakti. "Hati-hati di jalan."
"Thanks."
Sakti mengendarai motornya meninggalkan sekolahan. Tujuannya kali ini adalah ke toko bunga, ingin membelikan bunga untuk pacarnya.
***
Sakti berjongkok di depan makam Luna. Dia tersenyum, lalu mengelus batu nisan tersebut. Sakti menyimpan buket bunga di atas pemakaman. Pertama dia berdo'a terlebih dahulu, setelahnya kini Sakti hanya terdiam memperhatikan makam yang selalu bersih ini.
Sakti menunduk dan tersenyum. Menahan air mata agar tidaj jatuh. Sial! Sakti selalu menangis di sini. Dia selaku tidaj bisa menahan air matanya.
"Maaf karena gak sekuat yang kamu kira Lun. Aku lemah sekarang Lun, andai kamu tau seberapa sulit aku nerima takdir ini Lun." Sakti terus mengelus batu nisan itu.
"Boneka kamu aman sama aku Lun, dia masih sama kaya dulu pas pertama kali kamu peluk. Aku gak berani peluk, soalnya barang itu milik kamu. Aku cuman bertugas menjaganya, bukan memilikinya. Tenang di sana yah, aku bakal berusaha kuat demi kamu. Aku bakal baik-baik aja. Tapi izinin aku untuk nangis setiap jenguk kamu ke sini yah, aku gak bisa tahan tangis ini soalnya. Maaf sekali lagi, ya...."
"Udah mau sore, mau hujan juga. Aku pamit boleh?"
Sakti berdiri, untuk terakhir kalinya dia melirik batu nisan.
"Selamat tinggal wanitaku."
Sakti berjalan pergi meninggalkan pemakaman.
*
*Benar saja, hujan kini mengguyur jalanan. Anehnya Sakti tidak mau meneduh. Dia malah memilih untuk tetap.memacu motor seperti biasanya. Membiarkan tubuhnya basah diguyur air hujan. Di balik helm Sakti tersenyum pahit.
Bahkan hujan saja tau, kini sehampa apa hidupku tanpa adanya kamu....
Sakti menambah kecepatan. Membiarkan hujan lebih mengguyur tubuhnya. Dia harus segera sampai di rumah, Sakti yakin Kia akan khawatir jika dirinya telat pulang seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna Areva | Selesai✔️
Teen FictionFOLLOW SEBELUM BACA!! REVISI✔️ Jadi bagaimana aku bisa pulang jika rumahku saja sudah dibuat hancur berantakan oleh orang-orang di dalamnya. Rumah yang seperti apalagi yang harus aku percaya? "Kapan aku bahagia... Kapan waktu itu datang... Kapan sem...