54

405 61 22
                                    

Taehyung POV

Aku benci dia.

Sampai kapan pun aku akan membencinya.

Kenapa dia harus ada?

Kenapa dia harus muncul sekarang?

Atau ...

Aku yang baru menyadari keberadaannya?

"Hai. Aku Ahn Taekyung. Kau bisa memanggilku hyung. Semoga kita bisa akur," ucapnya sambil meraih tanganku dan menjabatnya kuat. Kuat namun hangat.

Namun aku menarik tanganku darinya. Berjalan mundur tanpa kusadari. Aku tak perlu mengatakan betapa aku tidak menyukainya.

"Jaga sikapmu itu. Tidak punya sopan santun sama sekali pada yang lebih tua," ujar pamanku sendiri.

Gila. Dia membela seseorang yang seharusnya berada di luar lingkaran keluarga dengan sangat baik.

Meski hubunganku dengan laki-laki paruh baya itu memang tak pernah baik, tapi bukankah aneh kalau dia bersikap selayaknya keluarga pada orang yang hanya memiliki sebagian darah dari keluarga Ahn?

"Taehyung-ah, mulai sekarang kita akan jadi keluarga. Kau, Taekyung hyung dan eomma," sela seorang wanita yang kuperkirakan usianya lebih tua dari ibuku dengan wajah cerah. Dia orang satu-satunya yang terlihat sangat bahagia di sini.

"Siapa lagi kau ini?" tanyaku datar yang malah dapat tamparan keras dari pamanku.

"Sudah kubilang sopanlah pada yang lebih tua."

Aku tersenyum sinis sambil merasakan panas di pipiku. Lucu.

"Apa aku mengumpat pada mereka? Atau menggunakan banmal ? Yang tidak tahu sopan santun itu adalah kalian. Makam ibuku saja masih basah dan sekarang kalian datang tanpa rasa bersalah sama sekali? Apa yang kalian harapkan dariku memangnya? Menyambut kedatangan kalian dengan tangan terbuka? Kalau itu yang kalian inginkan. Tolong bangun dari khayalan seperti itu. Karena aku tidak akan melakukannya."

Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tidak ada yang menjawab semua pertanyaanku tadi. Hening kembali seperti semula.

"Aku tahu ini semua sangat tiba-tiba untukmu. Maaf," kata orang bernama Taekyung ini sambil menepuk bahuku.

"Jangan merasa karena kita punya nama depan yang sama kau adalah bagian dari keluargaku."

Aku tak menggubris panggilan mereka saat kuputuskan untuk enyah dari tempat ini. Entahlah. Hanya ada rasa marah yang tak bisa kukatakan dengan jelas. Sesak pada situasi yang tak pernah bisa kuduga akan terjadi di waktu hatiku belum siap kehilangan sosok orang yang kusayang.

Aku tahu ayahku memiliki wanita lain. Tapi tak pernah mengira kalau dia memiliki anak dari hubungan itu. Seberapa jauh dia sudah melukai ibuku? Rasanya aku hanya ingin mencakar dia seandainya masih hidup. Sayangnya, orang penyebab semua ini sudah pergi lebih dulu ketimbang ibuku. Menemui Tuhan untuk menebus dosanya.

Aku menaiki bus yang datang tanpa melihat ke mana tujuan akhirnya. Melewati satu per satu halte dalam diam. Tak tahu harus turun di mana sampai akhirnya sang sopir menegurku ketika kami sudah sampai di terminal akhir.

Aku kembali berjalan tak tentu arah. Hanya agar kakiku lelah saja. Lalu duduk di bangku yang ada di depan sebuah pohon besar. Duduk termenung tak kala lamunanku dimulai tanpa kuperintah.

Terbayang wajah ayahku begitu saja. Laki-laki dingin yang hanya di pagi hari saja bisa kulihat, karena dia akan tenggelam dalam pekerjaannya selama seharian.

Atau itu yang aku tahu. Entah apa dia pergi ke rumah wanita lain atau bermalam di tempat lain. Kini aku meragukan semua yang sudah ada.

"Apa eomma sudah bahagia sekarang? Semua penderitaanmu selesai. Tak perlu lagi menahan diri lagi. Tak perlu melihat mereka yang seperti lintah di sekitar hidupmu."

INNER CHILD (✔️Completed✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang