Toxic (3)

265 22 7
                                    

Kini aku berada kembali di sini, tempat yang sudah lama tak kunjungi bahkan aku tak pernah berpikir bahwa aku masih punya waktu mengunjunginya.

Aku memberanikan diri, mengikuti langkah Sinka. Sampai terlihat ci Cindy dan Mami yang dengan mata berkaca, penuh kekhawatiran menatap pintu kamar Naomi. Bahkan tangis mereka pecah, setiap mendengar teriakan histeris Naomi.

Jantungku berdetak kencang. Apa aku sanggup melihat Naomi?

Dugg.. dug dug. Naomi tersu menggedor pintu kamarnya.

"Dut.. bukaa dut.  Aku ga kuat. Tolong aku dut."

Tak ada satu pun dari mereka yang bergerak. Bukan karena tak peduli. Tapi karena sangat peduli.

Perlahan, aku memberanikan diri melangkahkan diri. Berjalan mendekati pintu kamar Naomi.

"Veranda?" Mami seakan memperingatkan ku. Apa aku yakin untuk melihat Naomi.

Aku tersenyum, "tidak apa-apa Mi.," Aku meyakinkan. Karena dalam diriku percaya dia tetap Naomi yang ku kenal.

Crek.

"Naomi." Lirihku. Mataku mulai berkaca. Bagaimana bisa kamu menjadi seperti ini Naomi? Lihatlah tubuhmu! Matamu sayu, tubuhmu lebih kurus dari sebelumnya, tubuhmu tak ada gairah seperti menolak hidup. Rambutmu kusut, bau cukup menyengat dari aroma tubuhmu. Aku melihat pula keadaan kamarmu yang berantakan, pecahan barang dimana-mana makanan yang bertumpuk dan sudah basi karena tak kamu makan.

Dia tampak terkejut dengan kedatangan ku. "Pergilah!" Titahnya dingin seraya memalingkan wajah dariku.

Aku memberanikan diri mendekat, memeluknya dari belakang. Menaruh daguku di pundaknya.

"Aku gak akan meninggalkan mu lagi."

Maafkan aku. Aku tak pernah memikirkan akibatnya. Aku tak pernah berpikir, tentang kamu. Aku tak tahu, kamu juga menderita. Bahkan lebih menderita.

"Pergilah!"  Suaranya meninggi. "Aku takut menyakitimu Veranda."

Dia masih memikirkan tentang aku. Aku tahu, dia sedang menahan diri mengontrol rasa sakitnya, mengontrol emosinya. Karena tak ingin menyakitiku.

"Aku lebih sakit." Lirihku, air mataku turun. "Aku lebih sakit melihatmu seperti ini, aku akan bantu kamu dalam jeratan ini."

Aku harus membayar lunas akibat uangku perbuatan. Maaf.

Naomi melepaskan pelukanku dan menatapku. "Aku ga butuh janjimu lagi." Ucapnya memberikan penekanan seakan dia menyindirku tentang cinta. "Aku ga butuh belas kasihanmu."

Naomi, ini bukan belas kasihan. Aku melakukan nya karena cinta.

"Kamu tau Veranda, obat itu membantuku lepas dari jeratan, jeratan kamu." Naomi menunjukku. "Obat itu membuatku lupa akan kamu Veranda, jadi aku ga butuh kamu."

"Maaf." Aku menatapnya penuh rasa bersalah, aku yang membuatnya seperti ini. Aku yang menjadi alasannya.

"Kamu tak perlu meminta maaf Veranda." Dia berjalan menjauh dariku, mengelilingi dengan tubuhnya yang berjalan sempoyongan. "Karena sekarang aku tau, keputusanmu itu kemarin, SANGAT benar."

"Lihatlah aku!" Dia menaiki kursi rias. Aku hendak menolongnya namun dia mengabaikan ku. Naomi mencoba menyeimbakan diri berdiri di kursi. "Lihatlah. Aku memang tak pantas untukmu. Aku seorang pemabuk. Aku pecandu. Aku GILA. Tidak ada yang salah dengan keputusanmu. Karena kesalahannya ada padaku." Naomi menunjuk dirinya menyalahkan dirinya.

Air mataku semakin mengalir deras. Aku menggelengkan kepala menampik semua yang diucapkannya. Kamu bukan seperti itu Naomi, kamu tidak seperti itu.  Kamu adalah Shinta Naomi yang kucintai. Bukan pemabuk, bukan pecandu. Kamu adalah Naomi aku. Kamu Naomi milikku.

ONE SHOO(R)T STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang