Jessica Veranda
dan
Shinta Naomi----------------------------------
"Cici! Cepetan! Ini kak Ve udah nunggu lama banget," teriakan Sinka menggema di penjuru rumah Naomi dan Sinka yang hanya ditinggali oleh mereka berdua.
"Iya, Dut! Bawel kamu ih!" jawab Naomi yang juga berteriak dari lantai atas. Aku sebagai pendengar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan mereka.
"Udah, Dut. Biarin aja dulu. Kak Ve nggak keburu-buru kok. Masih ada waktu 4 jam sebelum pesawatnya berangkat." ucapku kepada Sinka.
Tap...tap...tap...brak....
"Awww," teriakan Naomi yang membuatku dan Sinka menoleh ke arahnya.
"Kamu kenapa?" aku menghampirinya yang sedang kesakitan memegang lutut kanannya.
"Ck suka keburu-buru sih. Sakit?" tanyaku memegang lututnya yang baru saja terbentur meja pendek di samping tangga. Dia menggeleng pelan namun wajahnya mengisyaratkan rasa sakit.
"Makanya kalau jalan liat-liat jangan petakilan gitu," omel Sinka kemudian mendapat tatapan tajam dari Naomi.
"Ya itu meja kenapa ada disitu!" tambah Naomi pada adiknya.
"Dari dulu juga disini kali ci!" Dengus kesal sinka pada kakaknya yang tak mau mengakui tingkah cerobohnya.
"Mau diobatin dulu?" dia menggeleng menjawab pertanyaanku.
"Yaudah yuk sini aku bantuin bawa kopernya," aku mengangkat koper kecil berwarna biru tua yang akan dia bawa selama kami berlibur.
Kami berdua berpamitan kepada Sinka. Rencananya, kami akan menginap dan menghabiskan weekend di Villa milik papa yang ada di Bali. Awalnya aku dan Naomi mengajak Sinka juga. Namun, ternyata ada kegiatan kampus yang menjadikan Sinka sebagai panitia inti. Jadi dia tidak bisa meninggalkan tanggungjawabnya.
Kami berdua menuju bandara. Aku duduk di kursi kemudi dan tentu saja Naomi duduk dengan manisnya di samping kiriku.
Jalanan Jakarta sedikit tidak bersahabat pagi ini. Naomi mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan. Aku hanya menjawab seperlunya. Jujur aja aku tak tahu harus menjawab apa dari setiap pertanyaan. Mendadak saja lidahku kelu tak bisa banyak berkata.
"Ka Ve kok keringetan?" Ucapnya menatap wajahku. "Panas ya? Eh perasaan ACnya nyala kok."
"I..iya panas." Jawabku grogi.
Kulihat Naomi sibuk mengambil sesuatu dari tasnya. "Sini aku lapin dahi kakak." Tangan yang memegang tisu mendekati sudut dahiku. Refleks aku menepis kasar tangannya agar menjauh. Padahal aku tak bermaksud melakukan itu.
Naomi menatapku heran. "Kak bawa mobilnya agak kebut dong masa pelan-pelan kaya penyu kapan nyampe bandaranya?" Ucapnya tak sabaran.
Aku pun menaiki kecepatanku namun pijakkanku terlalu kasar hingga membuat Naomi kaget saat mobil melaju tiga kali lebih cepat dari sebelumnya apalagi saat aku mengoper giginya, kuplingku tak lansung masuk membuat mobil terasa berat.
"Ka Ve lampu merah!" Naomi memperingatkanku yang tak melihat rambu-rambu lalu lintas. Aku menginjak rem sekaligus dan membuat tubuhku condong menyentuh stir.
Duk.
"Ahh." Ringis naomi.
Oh God! Keningnya?
"Kamu gak apa-apa kan, Mi?" Tanyaku khawatir pada keningnya yang terbentur dashboard. Naomi sama sekali tak menjawab kembali merilekskan punggungnya dengan bersender.