Naomi pov
Perayaan kelulusan?
Cih perayaan macam apa?
Perayaan itu harus diiringi tawa sedangkan ini akan dihiasi kesedihan.Begitupun kesedihanku yang sudah menjalar semenjak dia mengumumkannya. Dan semakin menjadi saat aku memberikan jarak padanya. Memberikan jarak atas perasaan bodohku.
Tidak perasaanku tak bodoh. Bahkan sangat pintar. Pintar menjatuhkan diri pada sosok seelok dia.
Kebodohanku terletak pada buku itu. Sekumpulan tulisan ungkapan so puitis bak penyair. Namun menjadi tulisan seorang pecundang yang pengecut dalam mengungkapkan.
Seharusnya tak perlu ku tulis untuk membuktikan perasaan ini. Harusnya ku tutup rapat. Cukup. Cukup aku dan hatiku yang tau.
***
Sejak pagi kami sudah berkumpul di balai sarbini. Melakukan GR dan melakulan persiapan lainnya. Semua orang senantiasa menghampirinya. Berfoto. Mengabadikan moment yang mungkin takkan terulang lagi. Karena ini akan menjadi konser terakhirnya.
Mataku tak lepas darinya, dia yang selalu ditemani kinal sahabatnya. Ya kinal. Orang yang paling terpukul atas keputusannya tentunya setelah aku, karena sesungguhnya dia cukup beruntung dengan situasinya selain dia sudah diberi ultimatum sebelum kata grad terucap dan kinal beruntung bisa selalu bersamanya tanpa canggung. Mengumbar kemesraan persahabatan mereka. Dan mencurahkan kesedihannya secara langsung.
Sedangkan aku?
Aku cemburu. Cemburu bukan karena perasaan cinta. Tapi yang kucemburui posisi kinal yang senantiasa berada disisinya. Bukan hanya sekedar satu tim tapi karena kinal dapat dengan mudah mencurahkan segalanya tanpa kekangan hati."Ci naomi ga nyamperin ka ve?" Tanya anin saat kami dalam persiapan. Aku menggeleng.
Acara pun berlangsung haru. Tangis keluar terutama saat mengalun lagu so long. Lagu perpisahan untuknya. Aku meneguk air liurku berkali-kali meneguk kasar karena untuk menhan tangisku.
Bidadari biru itu sangat ingin ku peluk. Ingin ku ungkapkan cinta dalam bahasa pelukkanku. Karena mulutku pasti akan kelu. Tapi jangankan pelukkan untuk saling bertatap saja aku menghindarinya.
Break acara.
Kami beristirahat setelah perayaan aneh itu. Aku duduk termenung mimijat keningku yang tak pusing. Bukan karena berdebar dengan hasil ssk tapi karena kesedihanku yang tak bisa tersalurkan.
"Bunda kok ngelamun sih?" Sapa seseorang yang terdengar parau. "Santai donk bund sama hasil ssknya." Ucapnya mengambil bangku disisiku.
Aku tersenyum kecut atas tanggapannya. Karena jelas dia salah besar.
Dia tersenyum miris melihat seseorang. Paling veranda. Kinal pasti sangat merasa kehilangan.
"Dudut kok lucu banget sih bund?" Ucapnya membuatku menengadah dan menemukan arah pandangannya pada adikku sinka.
"Siapaa dulu cicinya.." candaku sembari menyikutnya pelan.
"Tapi sayang cintanya bahkan tawanya bukan punya aku." Ucapnya miris.
Eh? Bukannya kinal dan sinka berpacaran? Bukankah mereka menjalin hubungan saat kinal menjadi kapten k3?
"Terus bunda yang perhatiaan ini punya siapa? Bisa jadi punya aku?" Tanya kinal dengan senyumnya. "Aahh mana beranii sama bunda. Bundaa kan punyanya mba pee. Bisa-bisa aku terkena terjangan badainya. Padahal aku masih berhak nyalip selama ga ada label kepemilikan." Ucap kinal santai.
Apa maksudnya?
Aku punya veranda?"Aa..aku sama ve ga ada apa-apa kok. Deket aja enggak" aku mengklarifikasi.