9 | lampu merah

2.9K 113 287
                                    

__________________

Berhubung insiden nangis bombay cirambay-nya Monita ini sangat enggak terduga dan melenceng jauh dari ekspektasi, maka dengan berat hati rencana yang sudah Aiden, Biru, Calvin, serta Denil susun matang-matang harus berakhir gatot alias gagal total.

Di sisa hari itu, gantian mereka yang bertekuk lutut guna meminta maaf dan membujuk si Monmon, yang sehabis menangis langsung lanjut ngambek dari sekolah sampai rumah. Segala iming-iming yang mereka janjikan mulai makanan murah meriah berselimut micin macam bakso bakar, cilor, telung, seblak, gorengan, sampai yang sekelas chicken katsu, ramen, aglio e olio, sushi, pizza, hingga steak sekalipun, nggak berhasil meluluhkan hatinya. Padahal sesuai pengalaman, cewek itu paling gampang disogok pakai banyak makanan.

Untung seribu untung, di tengah gundah gulana mereka membujuk si balita, kehadiran Kak Cleo yang membawa kue ulang tahun sukses menjadi penyelamat.

Amarah Monita seketika padam hanya karena melihat desain kue yang super fancy, lalu secepat kilat dia melupakan perbuatan laknat mereka. Lima sekawan itu pun akhirnya berhasil menutup hari dengan menyanyikan lagu ulang tahun, berdoa dan tiup lilin bersama, serta meminta Papi mengabadikan momen penting ini sebaik mungkin.

Monita terlalu gengsi untuk menyampaikan secara terang-terangan, maka hanya di dalam hati saja, ia berucap banyak syukur sebab kehadiran Aiden, Biru, Calvin, dan Denil, masih menjadi hadiah terbaik yang Tuhan kasi untuk setiap ulang tahunnya.

Nggak ada yang pernah tahu kedepannya akan seperti apa. Namun, Monita berharap bisa terus bersama teman-temannya.

Kedengaran dramatis, tapi, mereka memang sepenting itu.

* * *

"Oy, Sinta! Ini tugas sejarah kerjanya masing-masing atau kelompok?!" tanya Calvin setelah bel tanda pulang berbunyi dan semua sibuk membenahi buku.

Cewek yang dipanggil Sinta itu sempat tertegun dan refleks memperbaiki letak kacamatanya, barulah menjawab, "kelompok, Vin."

"Bebas milih atau udah ditentuin?"

"Bebas milih, kebetulan kelompok gue kurang satu—"

"Oke, thanks."

Belum juga Sinta selesai berucap, Calvin duluan memotong lalu kembali mengalihkan perhatian pada teman-temannya.

"Weh, ini tugas kelompok. Udah fix kita berlima aja, ntar kerjanya di rumah Monmon. Oke?"

"Hadeeeh, jangan di rumah gue mulu, bosan!" keluh Monita seraya memasukkan beberapa buku catatannya ke tas milik Biru, supaya tasnya nggak berat-berat amat.

"Lo aja yang bosan, kita kaga," jawab Aiden.

"Rumah lo yang paling kane, Mon," sambung Denil. "Selain terjamin kenyamanannya, terjamin juga kesejahteraan perut kita."

"Betul tiga kali!" Calvin mengangguk setuju. "Gini ya, kalo di rumah si Warna kane juga, tapi kaga ada makanan. Di rumah Denil terlalu banyak ranjau alias berbahaya. Di rumah gue, lo semua tau sendiri bokap macam gimana. Kalo di rumah Aiden...."

Aiden melirik. "Apa?"

"Nah, di rumah Aiden aja!" sahut Monita super semangat. "Kenyamanan dan kesejahteraan perut lebih terjamin! Mana ada banyak pohon mangga lagi, bisa colong sepuasnya!"

"Di rumah lo juga pohon mangganya kaga kalah banyak ya, Mon."

"Banyak daunnya doang! Dari gue belajar tengkurap sampai sekarang, nggak pernah ada buah."

"Belom waktunya kali."

Monita menggeleng dan wajahnya berubah sok serius plus misterius. "Berdasarkan cerita turun-temurun, tuh semua pohon mangga udah lama jadi tempat nongkinya Elis."

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang