47 | 'sedikit' damai

945 64 62
                                    

__________________

Hari sudah larut malam, ketika Biru tiba di rumah dan masuk lewat pintu samping yang terhubung dengan garasi.

Rentetan peristiwa buruk yang terjadi belakangan ini, termasuk ucapan Aiden kemarin sore, sangat berhasil membuat kepalanya seperti ingin pecah, saking pusing tak karuan. Semua runyam dan berantakan. Dadanya penuh oleh beragam emosi, tapi tak ada satu pun yang bisa ia luapkan.

"Kalau emang lo masih anggap gue temen dan punya sedikit aja hati, lo mestinya sadar buat kasi penjelasan, bukan bersikap seolah nggak terjadi apa-apa. Kebiasaan lo yang selalu diam itu bikin gue muak."

Seolah belum cukup, apa yang Monita katakan siang tadi turut terngiang di telinganya, bak ingin menambah beban pikiran.

Biru tahu dia salah karena langsung membatalkan janji, tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia juga tahu Monita pasti kesal dan kecewa, pun menganggap perasaannya sekadar bercanda. Masuk akal Aiden marah, karena cowok itu memang nggak tahu apa-apa, dan benar yang dikatakan bahwa Biru sudah melanggar banyak kesepakatan. Juga, bukan salah Monita menjadi muak pada dirinya, yang sengaja diam padahal harus beri penjelasan.

Semua salahnya. Ia akui itu.

Kalau boleh jujur, andai punya pilihan lain, Biru juga tak ingin seperti ini. Jika saja bisa, dia mau berterus terang agar mereka paham keadaannya dan nggak salah ambil kesimpulan.

Namun, hal sesederhana menceritakan perasaan kepada orang lain, justru adalah yang paling sukar Biru lakukan.

Dari dulu, Biru terbiasa menanggung sedihnya sendirian. Setelah Bunda pergi, ia tak pernah membagi duka dengan siapa pun, sebab memang tak ada orang yang benar-benar peduli. Ribuan kata penguatan, pelukan, dan semangat yang mereka berikan, Biru rasakan itu sebagai formalitas belaka, bukan yang tulus dari hati. Bahkan, sosok yang ia harapkan untuk tetap ada yakni sang ayah, malah memilih pergi bak enggan menemaninya menghadapi duka. Sudah sejak lama dia dipaksa untuk menutupi luka, dan hal itu terbawa sampai sekarang.

Terlalu sering memendam sedih seorang diri, membuat Biru tak punya keberanian untuk bercerita pada orang lain. Ia takut reaksi yang didapat tak sesuai dengan yang diharapkan. Ia takut tak ada yang benar-benar peduli. Lebih dari itu, ia takut sisi buruk yang ia tunjukkan, justru membuat mereka menjauh dan akhirnya pergi.

Mungkin, ini terkesan Biru tak menaruh percaya pada Monita dan yang lain, juga meragukan pertemanan mereka.

Nggak. Maksud dia bukan begitu.

Seperti yang pernah disinggung, Monita—dan teman lain—adalah hal indah bagi dunia Biru yang menyebalkan. Mereka adalah sisi cerah yang mampu membuat dia tertawa lepas, menikmati bagian menyenangkan sebagai remaja, dan percaya bahwa yang namanya hidup meski nggak selalu mulus, ada momen tertentu yang berjalan baik-baik saja.

Maka, mencampur hal 'indah dan menyenangkan' ini dengan masalah yang kelabu, hanya akan merusak sisi cerah yang ia miliki. Biru tak mau teman-temannya ikut merasakan dunianya yang menyebalkan. Ia tak mau mereka terkena imbas dari masalah yang ia punya. Itulah alasan mengapa Biru selalu memilih diam dan bersikap seakan nggak terjadi apa-apa, ketimbang menceritakan keluh kesahnya.

Biru sampai lupa bahwa semua hal punya limit. Dia yang terlalu tertutup dan menyimpan banyak rahasia, kini jadi masalah baru yang bikin pertemanan mereka renggang.

"Biru?"

Langkah Biru menuju tangga lekas terhenti dan pikirannya begitu cepat buyar, tatkala mendengar suara seseorang.

Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu yang memanggilnya adalah si mama tiri. Entah ini sebuah kebetulan atau sengaja diatur semesta, tiap kali suasana hati Biru sedang buruk dan kacau, wanita itu selalu yang paling pertama muncul menemuinya.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang