11 | drama pasar malam

2.8K 112 120
                                    

__________________

"OY, BLOON!!!"

Teriakan menggelegar serempet cempreng menjadi yang paling pertama Monita dengar, kala ia tiba di gerbang masuk pasar malam dan mulai celingak-celinguk mencari keberadaan empat temannya. Hanya butuh sepersekian detik ia mendapati Aiden dan Calvin tengah berdiri sok cakep sambil melambaikan tangan penuh semangat, si Biru yang fokus menyetel kamera dan jeprat-jepret random, serta Denil yang nggak berhenti tebar pesona sebab menyadari ada banyak pasang mata milik perempuan yang meliriknya terpesona.

Ibarat kata kalau ini drama remaja, sudah cocok banget mereka jadi F4 saingi circle-nya Gu Jun Pyo dan Dao Ming Shi, tapi versi jametie.

Senyum Monita langsung tertarik lebar, lalu tanpa membuang waktu ia berlari menghampiri cowok-cowok itu. Sesuai kesepakatan tempo lalu, hari ini mereka berlima akan bermain sepuasnya di pasar malam. Mengingat seperti yang Denil katakan, terakhir kali mereka mengunjungi tempat ini ialah saat lulus SMP, dan itu pun mesti berakhir kacau-balau akibat Monita yang muntah selepas naik kora-kora.

Aslinya sih, Monita sudah enggak mau mengingat kejadian kampret itu, tapi karena yang namanya aib akan selalu dikenang sepanjang masa alias mustahil dilupakan kecuali amnesia, maka hari ini, demi membuktikan diri sebagai perempuan tangguh di hadapan empat teman laknatnya itu, Monita betul-betul niat membawa beberapa kresek dari rumah sebagai antisipasi kalau nanti dia muntah lagi.

Tenang saja, kreseknya sudah Monita lipat super rapi dan simpan dalam saku celana. Sedikit curhat nggak penting-penting amat, tadinya ia berencana mau membawa serta minyak aromaterapi, balsam, koyo, obat merah, serta kain kasa, namun niatnya langsung batal total, ketika Kak Sera dengan seenak dengkul masuk dalam kamar kemudian menangkap basah dirinya sedang menyeludupkan barang dari kotak P3K.

"Kamu mau main ke pasar malam atau mau buka jasa pengobatan gratis, Mon?? Sekalian aja nih kotak P3K kamu bawa juga!" sembur sang kakak yang selanjutnya begitu tega mengeluarkan kembali peranti-peranti yang telah berhasil ia masukkan dalam ransel mungil berbentuk buaya.

"Siapa tau nanti di sana ada kejadian nggak terduga, Kak," jawab dia lugu. "Kecelakaan, misalnya."

"Emang kalo ada begituan, kamu mau ngapain??"

"Mau aku bantu obatilah, gitu aja nanya."

Telunjuk Kak Sera pun terulur untuk mengetuk dahinya. "Nih, ini yang kudu kamu obatin duluan!"

"Kepala?"

"OTAK!"

"Otakku kenapa? Perasaan bagus-bagus aja."

"Itu perasaan kamu, aslinya mah karena keseringan nggak dipakai, jadi udah full sarang laba-laba. Mungkin dikit lagi berlumut dan berjamur."

"Ish, ish, parah banget." Monita menggeleng seraya memasang tampang sok sedih. "Tapi nggak apa-apa, deh, seenggaknya punya otak. Daripada kakak...."

"APA?!"

"Ya nggak punyalah, itu aja nanya. Seluruh warga negara juga udah tau—WADAAAUUU!!"

Ia lekas mengaduh heboh, ketika sang kakak separuh singa betina itu menghantam persis wajahnya pakai bantal.

"Ayo, coba ngomong lagi!"

"Ampun, Nyonya Ratu, tadi cuma bercanda."

"Yu lama-lama ai cekoki juga pakai betadine!"

"Jangan, Kak, kalau bisa sih pakai es coklat yang topingnya es krim vanilla atau oreo aja."

Kak Sera melirik tajam bak isyarat agar Monita lebih baik bungkam sebelum kena hantam lagi, seraya tangan cewek itu mengeluarkan sebuah kotak plastik berukuran segenggam, yang isinya ialah beragam jenis obat.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang