12 | monyet make-up

2.6K 108 103
                                    

__________________

Karena yang namanya hidup kadang bersenang-senang dahulu lalu bersusah-susah kemudian, maka setelah menghabiskan malam minggu dengan foya-foya, kini Monita serta empat temannya harus kembali menjalani hari senin yang super kampret nan menyebalkan, bahkan bisa dibilang jauh lebih berat dari senin-senin yang sudah lewat.

Gimana enggak? Usai mengikuti kegiatan upacara yang mirip siksaan neraka, mereka berlima terpaksa masuk ruang BK dan diomeli panjang lebar, gara-gara nggak kumpul tugas sejarah. Selanjutnya, entah Bu Rina ini punya dendam kesumat atau apa, meski sudah memberi surat peringatan pun, beliau masih menambah sanksi dengan menyuruh mereka hormat bendera sampai pergantian mata pelajaran, yang mana itu berarti mereka harus berdiri terpanggang panas matahari selama hampir tiga jam.

Sudah, sampai di situ saja? Oh, tentu enggak.

Hukuman ini jadi triple menyebalkan bagi Monita, sebab di tengah kesusahannya menahan sakit kepala serta kulitnya yang terasa mulai terbakar, ia justru bertemu dengan Disi yang baru selesai olahraga.

Seperti biasa, cewek itu doyan sekali melirik julid diikuti decakan sinis, memandangnya bak seorang pelaku kejahatan yang paling berlumuran dosa. Monita berusaha nggak peduli, tapi bukan adik laknat namanya kalau nggak memancing emosi.

"Kali ini apa lagi?" Dia bertanya dengan nada menyindir.

Mata Monita terus tertuju pada tiang bendera. "Bukan urusan lo."

"Emang bukan, tapi semua di sekolah ini tau kamu kakak aku."

"Terus?"

"Stop bikin aku malu."

Monita hanya diam, menganggap ucapan Disi angin belaka. Aiden, Biru, Calvin, dan Denil pun mulai saling melempar tatap, seakan berdiskusi mau ikut campur dalam perang dua saudara ini atau cukup jadi penonton.

Sesungguhnya, bukan pertama kali Disi berucap demikian. Malah tiap Monita dan teman-temannya berbuat onar berujung kena sanksi, cewek itu akan yang paling dahulu maju untuk mengatakan berhenti bikin malu. Monita sudah terbiasa, meski hatinya nggak pernah gagal dibuat tertohok.

Karena tak mendapat tanggapan, Disi maju selangkah agar diberi atensi.

"Aku muak dengar cerita temen-temenku tentang kamu. Tukang bikin onar, sering bolos, langganan masuk BK, buku pelanggarannya penuh, namanya ada di daftar hitam. Nggak ada satu tentang kamu yang dibicarain bagus. Dan, apa yang ada di saku kamu? Surat peringatan lagi?"

Monita masih nggak menjawab.

"Kalo udah nggak bisa apa-apa, seenggaknya nggak usah cari masalah."

Kepalan tangan Monita refleks mengerat, lalu ia balas menatap Disi. "Kalo lo nggak tau apa-apa, mending tutup mulut aja."

"Apa yang aku nggak tau? Semua yang aku bicarain ini fakta. Berhenti nyusahin orang, Mon."

"Gue nyusahin elo?"

"Masih nanya?"

Cewek itu maju selangkah lagi, kali ini disertai dagu yang terangkat tinggi.

"Kelakuan kamu bikin nama aku jelek. Aku capek-capek jadi murid teladan, ngumpul piala, ikut macam-macam lomba dan dapat juara, tapi semua orang di sini taunya aku siapa? Adik si tukang bikin onar. Menurut kamu, apa itu nggak nyusahin?"

Ada emosi yang merayap telak dalam dada Monita, yang berusaha ia pendam dengan banyak kata sabar. Monita nggak mau marah. Itu cuma buang-buang tenaga.

Hanya saja, keputusan dia untuk diam justru bikin Disi makin merasa hebat.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang