52 | udah pantas belum?

846 73 70
                                    

__________________

Faktanya, apa yang terjadi saat pertandingan tempo hari lalu, turut berpengaruh pada Monita dan berhasil bikin dia makin sering bengong gara-gara kepikiran.

Nggak. Monita bukan memikirkan sikap tak acuh papa dan mamanya Aiden, pun bagaimana mereka terang-terangan membuat cowok itu kehilangan sukacita di tengah euforia. Ini juga bukan tentang Aiden yang tiba-tiba pendiam atau menjauhi Monita, sebab pada kenyataannya, begitu selesai nangis bombay cirambay di bahu Papi—sampai bikin jersey kuning terang kebanggaan beliau basah oleh air mata bercampur lendir hidung—dan diberi sepatah dua patah petuah dari Calvin yang nasib hidupnya hampir mirip, cowok itu balik ke settingan awal, malah tambah clingy sama Monita.

Ini bukan tentang mereka.

Ini... tentang Papi dan Mami.

Kalau boleh jujur, agak sulit bagi Monita untuk menjabarkannya dengan jelas. Namun yang pasti, ketika mengingat kembali bagaimana reaksi Papi dan Mami terhadap kemenangan Aiden, menyaksikan senyum bangga dan penuh kasih yang mereka tunjukkan pada cowok itu, juga bagaimana Aiden didekap erat lalu dipuji dengan tulus, Monita merasa... ia ingin dapatkan hal yang sama.

Maksudnya, Monita ingin membuat Papi dan Mami bangga kepada dirinya juga.

Bukan berarti sekarang Monita iri dengan Aiden. Sama sekali enggak. Dia tahu betul Papi Mami hanya berupaya memberikan apa yang seharusnya cowok itu terima, juga mengucapkan kata-kata yang semestinya cowok itu dengar, sebab kedua hal tersebut tidak Aiden dapatkan dari orang tua kandungnya. Dia mengerti bahwa Papi dan Mami pasti tidak ingin Aiden merasa gagal atau nggak disayangi.

Monita hanya berpikir, bukankah akan lebih baik jika dia punya sesuatu yang bisa dibanggakan juga? Bukankah akan terasa menyenangkan, bila suatu saat dia menjadi orang yang bikin Papi dan Mami tersenyum bangga? Pasti euforianya bakal berbeda, ketika dia nggak hanya jadi penonton, melainkan jadi alasan mereka senang.

Tapi, memangnya bisa?

Pengalaman kemarin adalah bukti nyata. Sekadar ikut lomba fashion show yang mana nggak butuh banyak tenaga dan nggak menguras otak, Monita malah bikin semua orang kesusahan. Kak Dara harus nanggung rugi, pekerjaan Papi dan Mami banyak keteteran, Kak Sera dan Iresa sering bolos kuliah, hingga teman-temannya ikut malas sekolah dengan alasan mau menjaga dia. Sudah begitu, Kak Dara masih merasa bersalah karena kurang memperhatikan kesehatan Monita, padahal dia sendiri yang lengah dan sok-sokan kuat.

Singkatnya, untuk hal yang tergolong sederhana saja, Monita sudah gagal total. Bagaimana bisa bermimpi buat lakukan hal yang lebih besar? Dia nggak pintar, nggak punya bakat apa-apa, otaknya lambat berpikir, plus sakit-sakitan lagi. Apa sih yang bisa dibanggakan dari itu semua?

Untuk sejenak Monita menghela napas panjang, kemudian menatap selebaran yang diberikan oleh Olivia tadi siang, dan teringat kembali percakapan mereka.

"Gue denger-denger, lo pernah ikut lomba fashion, ya?"

Kurang lebih itu yang Olivia tanyakan, saat mereka balik dari tosek usai beli roti coklat dan mogu-mogu.

Berhubung di jam istirahat kedua ini Aiden, Biru, Calvin, dan Denil harus mengurus ekskul, jadilah empat begundal itu sepakat 'menitipkan' Monita pada Oliv, karena dirasa cuma cewek itu satu-satunya yang dapat diandalkan dan tidak berbahaya, ketimbang Sinta atau Maya and the gank. Sangat kebetulan, Oliv pun lagi butuh klien untuk coba pallete make-up baru, jadi nggak pakai banyak ba-bi-bu Monita langsung setuju.

"Bukan pernah ikut, tapi hampir ikut." Ia meralat sambil duduk di kursi samping Olivia.

"Hampir?"

Monita mengangguk. "Sehari sebelum lomba, gue mendadak pingsan terus tepar di rumah sakit dua minggu, jadi batal, deh."

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang