34 | another bomb

1.2K 83 34
                                    

__________________

Monita sama sekali nggak punya alasan untuk tersenyum, ketika dia membuka mata lalu melihat matahari sudah terbit begitu tinggi, pun cahaya yang sedemikian silau menembus sela gorden dan menciptakan garis terang dalam ruangan putih ini. Cuaca yang benar-benar cerah, seakan mengolok habis suasana hatinya yang buruk seperti diterjang hujan badai.

Dini hari tadi, saat Monita terbangun karena merasa haus, hal pertama yang ia saksikan adalah Mami sedang tidur lelap tepat di samping ranjang, seraya kedua tangan memeluk erat tangannya yang bebas infus. Ketika ia mengedarkan pandang ke arah lain, ia melihat sang Papi juga terlelap di sofa dalam posisi duduk, dengan bahu menjadi sandaran bagi Iresa dan Kak Sera. Wajah mereka tampak luar biasa lelah. Mungkin karena berjam-jam menunggu dia yang tak kunjung siuman.

Sebut saja Monita terlalu cengeng, sebab pemandangan itu berhasil membuat hatinya lagi-lagi tercubit, dan tanpa bisa dikontrol sudut matanya kembali berair. Ia masih menangis dalam diam, tak berani mengeluarkan isak atau sedu karena takut Mami akan terganggu.

Jelas bukan ini yang Monita harapkan untuk terjadi. Bukan kondisi seperti ini yang ingin ia tunjukkan. Tak terhitung seberapa sering Papi, Mami, juga kakak-kakaknya rela tidur di rumah sakit demi menemaninya, ia tetap tidak terbiasa, atau merasa itu sebuah keharusan.

Monita tahu mereka tulus melakukannya karena menyayangi dia. Namun, apa yang ia berikan sebagai balasan? Ia terus menyusahkan mereka. Menjadi orang yang bisanya bawa kesulitan, bukan sekali atau dua kali tapi berulang-ulang kali.

Napas Monita yang turut menderu, tanpa sengaja membuat Mami terbangun. Tatkala melihat ia sudah membuka mata, kantuk beliau langsung hilang. Hanya dalam hitungan detik, Monita merasa tangannya digenggam lebih erat, lalu Mami menunjukkan senyum lega meski matanya masih berselimut kalut.

"Anak Mami udah sadar?"

Belum sempat ia menjawab, tangan Mami dahulu menyentuh pipinya, lantas mengusap banyak jejak air mata. Kernyit sarat khawatir muncul di dahi beliau, sebelum dengan lembut melayangkan pertanyaan.

"Ada yang sakit? Kepala kamu sakit banget, ya?"

Monita menggeleng pelan.

"Kalau gitu Mami panggil Dokter dulu, oke?"

Baru mau beranjak, ia cepat menahan tangan Mami, lalu menggeleng lagi sebagai isyarat agar sang mama tidak ke mana-mana.

"Kenapa? Kamu butuh sesuatu?"

Dengan suara yang tersekat di kerongkongan, Monita susah-payah berujar, "Mami..."

"Iya, Mami di sini. Monita butuh sesuatu? Bilang sama Mami."

"Maaf, ya."

Mami kelihatan heran.

Monita ingin berucap lebih panjang, tapi nyeri yang berpusat di kepalanya bagai tak mengizinkan untuk lakukan itu. Alhasil, ia hanya bisa menggenggam tangan Mami lebih erat, berusaha menghalau sakit tanpa mengeluarkan rintih, kemudian membalas tatapan sang mama.

"Mau peluk."

Raut Mami sedikit berubah. Entah heran dengan permintaan Monita yang tiba-tiba, atau karena memikirkan hal lain. Satu yang pasti adalah mata beliau terlihat mulai berkaca, sebelum maju dan membawanya masuk dalam dekapan.

Tubuh Monita terasa begitu hangat. Sesak yang sedari tadi tertimbun dalam dadanya bagai terangkat dan melebur dengan udara. Tangan Mami yang tak henti mengelus kepalanya, turut membuat nyeri itu perlahan berkurang. Monita nggak pernah merasa senyaman ini.

Nggak, sampai ia mendengar ucapan Mami.

"Monita,"

"... ya?"

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang