closure | clair de lune

549 60 130
                                    

_________________

"He was selenophile,
she was the moon."

Hidup adalah soal mengambil pilihan. Ada yang akan kita sesali, ada yang akan kita banggakan, ada yang akan menghantui kita selamanya. Bagaimanapun, kita adalah pilihan-pilihan yang telah kita lakukan.

Sekiranya itu satu kutipan bijak yang kebetulan Aiden baca, lalu mendadak ia renungkan bersamaan dengan munculnya notifikasi berupa pesan dari sang mama.

Seperti yang bisa ditebak, isinya sekadar penandasan bahwa Natal tahun ini akan sama kayak sebelum-sebelumnya, yakni Papa Mama mungkin sulit untuk pulang karena 'masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan', dan kalau Aiden ingin habiskan tahun baru bersama para sepupunya, sekalian mengunjungi Eyang Putri yang sudah makin lansia, maka dia bisa pergi liburan ke Melbourne sendirian.

Terus, apa hubungannya pesan itu dengan kutipan yang barusan dia baca?

Aiden pikir, selama ini Papa dan Mama sebenarnya punya pilihan.

Mereka bisa memilih untuk lebih sering pulang rumah, ketimbang terlalu fokus pada pekerjaan. Mereka bisa memilih untuk meluangkan lebih banyak waktu bersamanya, ketimbang sibuk mengurus dunia saham. Mereka bisa memilih untuk menghabiskan hari libur dengan jalan-jalan keluarga, ketimbang menggunakan cuti itu untuk perjalanan bisnis lain. Mereka bisa memilih untuk memberi Aiden perhatian, ketimbang terus mengiriminya banyak uang lalu menuntut dia harus bersikap dewasa.

Lebih dari itu, Papa dan Mama punya pilihan untuk hidup bersama Aiden, ketimbang membiarkan dia diurus dan dibesarkan oleh seorang personal assistant.

Namun, pada kenyataannya mereka tidak memilih dia. Atau bisa jadi, dia memang tidak pernah masuk dalam pilihan.

Jika benar demikian, maka harapan Aiden untuk mendapat waktu dan kasih sayang dari Papa Mama selamanya akan sebatas harapan. Bukan karena terlalu sulit dikabulkan, tapi karena orang yang ia taruh harap itu enggan mewujudkan.

Bila ditanya bagaimana perasaan Aiden, jelas dia nggak baik-baik saja. Apalagi mengingat kejadian saat pertandingan berapa bulan lalu, di mana semua usaha dan kerja kerasnya tidak sedikit pun dihargai, bohong kalau dia bilang dia nggak sakit hati. Seperti... lebih baik jika mereka tidak usah datang sama sekali, daripada hadir untuk membuatnya merasa gagal. Menghancurkan semua euforia dengan satu kalimat tajam.

Tetapi, sebagaimana quotes andalan yang kerap dipakai penulis, terlalu sibuk melihat hujan dan awan kelabu hanya akan bikin kita lupa bahwa setelahnya ada matahari dan langit biru. Aiden sadar bahwa terus memikirkan hal ini juga nggak akan merubah apa pun.

Hidup adalah soal mengambil pilihan.

Aiden bisa memilih untuk berfokus pada sisi-sisi menyenangkan nan cerah dalam hidupnya, ketimbang merasa nelangsa dan kesepian lantaran punya orang tua lengkap tapi macam yatim piatu. Toh, dunia ini nggak melulu soal angst.

Lagipula kalau mau adu nasib nih ya, problem Aiden jelas nggak ada apa-apanya dibanding kehidupan istri dalam sinema ikan terbang. Mereka selalu di-setting memiliki hati spek malaikat surgawi, walau tiap menit detik dihantam badai persoalan mulai dari punya suami nggak guna, mertua laknat, hingga pelakor biadap. Mereka juga tidak pernah mendendam dan selalu memaafkan, tiap kali si antagonis sudah kena karma, lalu mendadak bertobat pas dekat-dekat sakratul maut.

Pelajaran yang bisa diambil ialah meski rada naif nan bego, beberapa hal dalam hidup memang perlu dilihat dari sisi baiknya saja.

Papa dan Mama bukan sosok antagonis dalam cerita Aiden. Mereka tuh cuma kurang peduli dan workaholic. Buktinya, mereka tidak pernah menyiksa dia, mencoret namanya dari kartu keluarga, kepikiran untuk menjualnya ke pasar gelap, ataupun membiarkan dia luntang-lantung macam gembel di perempatan jalan.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang