38 | kangen

1.2K 82 60
                                    

___________________

Meski sedikit meleset dari perkiraan, tetaplah menjadi sebuah kabar menyenangkan saat dokter bilang Monita sudah boleh pulang rumah, lantaran melihat hasil pemeriksaan terakhirnya yang cukup bagus, pun kondisi tubuhnya yang kian membaik walau belum benar-benar pulih.

Asli. Monita rasanya pingin langsung sembah syukur ke hadirat Tuhan, sebab bisa terbebas juga dari bau obat-obatan, infus menyakitkan, serta kamar putih polos yang makin dilihat makin bikin muak, lalu berjumpa kembali dengan kamar dan ranjang aesthetic miliknya yang dua minggu belakangan ini pasti jadi tempat nongki mbakyu kunti and the gank.

Sebelum pulang, sebagaimana ritual perpisahan antara dokter dan pasien pada umumnya, Dokter Ayana memberi banyak sekali pesan berisi pantangan—yang mana langsung Mami rekam serta Papi videokan, bikin mereka macam wartawan yang lagi mengumpul info dari narasumber—mulai dari Monita yang perlu mengurangi aktivitas yang kurang penting demi menghindari kelelahan, lebih serius menjaga pola makan, menghindari waktu tidur yang terlalu singkat alias dilarang begadang, sebisa mungkin konsumsi makanan bergizi ketimbang makanan full micin, sampai yang terpenting, ia hanya boleh minum antibiotik jika benar-benar butuh dan harus sesuai takaran.

Singkatnya berdasarkan rangkuman Mami, Monita nggak diizinkan punya kegiatan lain-lain di luar jam sekolah. Kebiasaan dia makan bakso bakar, gorengan, cilor, cilok, dan segala permicinan dunia pun mesti dikurangi drastis, kalau bisa hanya sebulan sekali. Perihal membucini Song Jong Ki lewat layar laptop atau ponsel, juga nggak boleh sampai larut malam apalagi dini hari. Yang terutama, jika sudah waktunya makan, dia dilarang menunda-nunda dengan alasan masih kenyang.

Sungguh aturan yang sangat menyiksa batin jiwa raga Monita sebagai manusia pencinta kebebasan, tapi berhubung ini demi keberlangsungan hidupnya dan ia juga amat ogah kembali rebahan di rumah sakit, maka dengan lapang dada dan hati yang terbuka, ia berusaha ikhlas menerima kenyataan sepahit getah pepaya.

Lupakan sejenak tentang hal ini dan bicara perkara puluhan tugas yang menumpuk selama Monita absen sekolah, syukur seribu syukur ia punya kakak-kakak titisan malaikat surgawi yang bersedia menjadi joki tanpa pamrih. Monita sempat terharu dan hampir menitikkan air mata, waktu lihat Kak Sera tertekan batin mengerjakan tugas matematika. Tentu saja tak lupa ia rekam, mengingat itu adalah momen yang super langka dan patut dilestarikan.

Ah ya, mengenai Disi dan perang dingin yang terjadi antara mereka... Monita sudah nggak mau ambil pusing. Dia nggak mau peduli akan apa pun yang berkaitan dengan sang adik. Pokoknya, mulai sekarang mau cewek itu bicara sampai mulut berbusa, berbuih, bergelembung, sampai keluar api sekalipun, terserah. Sejauh ini Disi tampak belum menyadari ucapan-ucapannya yang keterlaluan, juga nggak ada tanda-tanda mau minta maaf. Jadi Monita pun nggak ada rencana untuk memberi maaf.

Kadang, cara terbaik untuk menghindari sakit hati adalah nggak usah jadi orang yang terlalu peduli.

Sekarang, di hari Minggu yang biasa saja ini, Monita berencana menjalin silaturahmi yang panjang dengan ranjangnya, bergelung dalam selimut sampai tengah hari, melupakan sejenak yang namanya ritual 'mandi', serta full quality time memuja ketampanan sang sugar daddy. Bahasa sederhananya, dia mau rebahan-makan-main ponsel-repeat, sebelum besok kembali menjadi kacung guru.

Rencana ini mungkin akan berjalan mulus, halus, dan tanpa hambatan, kalau saja pintu kamarnya nggak mendadak digedor pakai tenaga dalam, lalu detik berikut sosok Iresa muncul dengan dress panjang warna putih dan rambut yang digerai lurus, bikin Monita hampir menjerit kalau saja nggak melihat kaki sang kakak masih menapaki lantai.

"Napa kaget gitu? Kayak lihat setan aja." Iresa berujar santai.

"Please delok yourself in the mirror, Res, tampilanmu emang nggak ada beda sama penghuni pohon beringin depan kompleks."

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang