20 | sepenggal kisah lampau

2K 94 155
                                    

__________________

Bila ada yang bertanya apa keinginan terbesar yang mau Denil wujudkan meski itu mustahil, maka tanpa ragu ia akan menjawab, ia ingin sekali merasakan nasi goreng buatan Mama.

Iya, sesederhana itu.

Dulu, ketika Denil masih kecil dan dirawat oleh Nenek, Papa dan Mama sudah sering bertengkar nggak mengenal waktu. Kadang pagi-pagi sekali saat ia baru bangun, kadang siang saat ia pulang sekolah, kadang juga malam saat ia beranjak tidur. Jika mulai terdengar suara murka Papa yang kemudian dibalas oleh bentakan Mama, Nenek dengan cepat mengajak Denil ke luar rumah. Paling sering beliau akan membawanya ke taman kota, atau ke toko mainan yang ada di depan kompleks, semata-mata agar dia berhenti bertanya dan melupakan apa yang terjadi antara orang tuanya.

Denil tahu Papa dan Mama nggak akur, tapi nggak pernah tahu ia adalah alasan di balik itu.

Satu kejadian yang ia ingat persis terjadi sekitar tujuh tahun lalu, dia baru pulang les piano ketika mendengar Papa Mama lagi-lagi ribut. Seperti biasa, Nenek mengajaknya pergi kali ini ke taman kota untuk menonton live music. Sore hari terlebih akhir minggu, tempat itu ramai dipadati oleh orang-orang yang mau olahraga, ada yang sekadar keliling melepas penat, juga banyak pedagang kaki lima yang menjual aneka kuliner. Nggak jarang pada momen ini, para musisi jalanan turut memanfaatkan kesempatan untuk unjuk penampilan.

Denil terlahir dengan kecintaannya pada musik lebih dari apa pun. Ia sangat suka bernyanyi, Nenek bilang dia punya suara yang bagus. Waktu tahu Mama dulunya seorang penyanyi dan Papa adalah produser musik terkenal, keinginan Denil untuk menekuni hobinya kian besar. Nggak hanya rajin ikut lomba nyanyi, setiap pulang sekolah dia lanjut les piano dan gitar, belajar lebih mendalam perihal seni suara, juga bercita-cita menjadi komponis hebat.

Menyaksikan orang bernyanyi seperti sekarang ini, juga bagian dari kesukaannya. Denil nggak pernah merasa bosan meski lagu yang dibawakan setiap minggu selalu sama.

"Daniel tadi jajan apa di sekolah?" Nenek membuka percakapan, setelah hampir setengah jam mereka duduk menikmati performa tiap musisi.

"Nggak jajan, Nek," jawab Denil santai dengan mata yang fokus memandang kagum sang vokalis.

Dahi Nenek mengkerut heran. "Kenapa?"

"Hari ini Biru ulang tahun, jadi pas istirahat bundanya bagi roti isi daging buat teman sekelas. Enak banget, aku bahkan boleh ambil dua."

Nenek sempat tertawa, sebelum lanjut bertanya, "terus di tempat les?"

"Ya?"

"Kamu jajan, nggak?"

Dia kembali menggeleng. "Mamang cireng yang biasa jualan di seberang jalan hari ini nggak datang."

"Kan bisa jajan yang lain." Nenek berucap sambil memperbaiki tatanan rambut Daniel. "Keseringan makan cireng itu nggak baik, Niel, minyaknya bisa bikin kamu batuk."

"Nanny bilang kalau makannya cuma dikit sih, nggak apa-apa."

"Hanya sedikit tapi sering, ya sama aja. Lagian Nenek liat, tempatnya juga nggak begitu higienis."

"Biar nggak higienis, rasanya tetap fantastis. Cireng buatan nanny aja kalah jauh."

"Itu karena mereka pakai banyak micin, boy,"

Denil membalas dengan anggukan sekenanya, sebab atensi dia duluan teralih pada sosok cowok berseragam SMA, yang mendapat kesempatan untuk maju dan menyanyikan sebuah lagu cukup populer diiringi petikan gitar. Penampilan yang terlihat keren di mata Denil, sampai-sampai ia lupa berkedip saking terpukau.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang