21 | katanya murahan

1.9K 92 136
                                    

__________________

Gara-gara kehebohan Monita yang didasarkan oleh sok tahu, hampir saja Aiden dan Denil kena siraman rohani dari Pak Joseph, guru agama mereka, yang terkenal suka coleteh panjang lebar ngalor ngidul ngetan ngulon bila membahas perihal beragam jenis dosa umat manusia yang pekat, dan bagaimana seharusnya menjadi kudus nan suci di hadapan Sang Pencipta. Belum lagi pada akhir khotbah, beliau kerap menyuruh bernyanyi satu lagu pertobatan, barulah ditutup oleh doa yang teramat panjang niscaya bikin karung pahala penuh sampai tumpah-tumpah.

Bukannya apa nih, untuk tipe orang macam Aiden yang pergi Gereja hanya saat Natal dan Paskah, atau kalau mendadak ingin tobat saja, siraman rohani berjam-jam seperti itu bakal masuk lewat telinga kiri lalu gesit keluar dari telinga kanan. Nggak ada secuil pun yang nyangkut di otak, apalagi masuk ke relung hatinya.

Kalaupun ada, sekejap hangus terbakar ditutup tumpukan dosa.

"Kaga usah lo pikir yang macam-macam ya, Mon. Gue masih normal dan suka cewek. Andai gue berniat jadi homogen pun, si Kian Santang bukan tipe gue!"

Sepuluh menit lebih Denil gunakan untuk meyakinkan Monita, sebab kerlingan yang cewek itu layangkan terus mengandung curiga separuh julid, benar-benar minta ditampol pakai sepatu kayu.

Posisinya mereka bertiga masih nongkrong di UKS, menunggu salep yang dioles di punggung Denil betulan kering. Biru hanya mampir sebentar karena ada rapat mingguan bersama anggota ekskul, sementara Calvin barusan pergi dipanggil oleh Bu Lira.

Sekadar info, Aiden serius menelepon Kak Cleo dan minta petugas rumah sakit termasuk seorang dokter datang memeriksa keadaan Denil, sampai melupakan fakta bahwa di sekolah mereka yang mahal ini, ada yang namanya perawat. Aiden tahu Denil kesal atas tindakannya yang berlebihan, tapi dia nggak peduli.

Persis sesuai dugaan, memar di punggung cowok itu tergolong parah bahkan beberapa nyaris infeksi. Jelas saja butuh pengobatan intensif lebih dari sekadar taruh obat merah. Ini sempat mengundang tatap heran dari Dokter dan Kak Cleo, namun Aiden memberi isyarat agar nggak menanyakan apa pun, karena ia yakin Denil nggak mungkin mau cerita.

"Terus ngapain lo berdua pelukan di ranjang? Posisinya lo nggak pakai baju lagi," balas Monita sewot. "Semua makhluk termasuk setan yang nangkring di atas lemari juga bakal simpulin yang enggak-enggak, ya."

"Halah, ngomong setan macam bisa lihat aja."

"Nggak usah alihkan pembicaraan. Cukup jawab pertanyaan gue."

"Tanya nyoh sama Aiden. Gue juga najis disentuh-sentuh dia."

"Masa? Tadi muka lo kelihatan seneng tuh."

"Mata lo siwer akut."

"Lo ngatain gue?"

"Kaga, gue ngatain diri sendiri!"

Bersamaan itu, Aiden melirik Denil dan dengan iseng memberi flying kiss diikuti kedipan genit, yang lekas saja mendapat tempeleng keras sebagai balasan.

"Mon, lo mending seret nih lanang menghadap Pak Joseph, sebelum gue jadi korban napsu bejat dia," ucap cowok itu seraya bergidik.

"Bercanda, njing!" sahut Aiden. "Lagian kalo gue belok, tipe cowok gue juga bukan elu."

"Tetap aja geli, cok."

"Belum diapa-apain kok udah geli?"

"Asu buntung—"

"ETDAH, IYE, GUE BERENTI!" Begitu cepat Aiden pindah ke samping Monita, demi menghindari tendangan Denil. "Hitung-hitung udah puluhan kali lo tabok gue hari ini, Nil. Kalo tulang belulang gue ada yang retak gimana, hah?!"

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang