we called it "memori merah muda" [END]

800 77 182
                                    

_________________

"Sometimes we just bump into certain people, and suddenly,
they become a part of our journey. "

Tentang masa depan, tidak ada yang pernah tau.

Jika dulu Monita mengawali cerita ini dengan awal pertemuannya bersama para begundal, maka sekarang akan ia akhiri pula bersama mereka.

Ada satu fakta psikologi yang pernah Monita baca, kata-katanya kurang lebih seperti ini, 'akan selalu ada alasan mengapa kita bertemu dengan orang-orang. Entah kita membutuhkan mereka untuk mengubah hidup kita, atau kitalah yang mengubah hidup mereka.' Tak terhitung sudah berapa kali ia mengatakan ini, tapi bertemu dengan Aiden, Biru, Calvin, dan Denil adalah sesuatu yang tidak mungkin dia sesali.

Bersama empat cowok itu, hidup Monita yang seperti kertas putih tak berarti, berhasil jadi warna-warni macam kertas origami. Berkat mereka, dunianya tidak berputar hanya pada rumah sakit, dokter, jarum suntik, dan segala jenis antibiotik. Ada banyak memori merah muda yang mereka ciptakan, ada banyak pula memori kelabu yang mereka jadikan pelajaran.

Andai dulu Monita nggak bertemu teman-temannya, dia nggak akan tau letak keseruan masa sekolah adalah melanggar peraturan.

Dia nggak akan tau rasanya terjebak hujan di warung depan, terus pulang harus sepayung berlima—juga rasanya satu kaki nyemplung ke selokan yang bau melebihi ketek genderuwo.

Dia nggak akan tau rasanya tiba-tiba dimusuhi, lalu dikasi kejutan ulang tahun yang serempet gagal.

Dia nggak bakal tau serunya main di pasar malam, dan betapa hebohnya cowok-cowok itu waktu masuk rumah hantu.

Dia nggak akan merasa luar biasa kesal saat sudah dandan cakep mirip cewek Ulzzang, tapi malah dikatain persis monyet make-up.

Dia nggak akan tau rasanya diledek dan dimampus-mampusin waktu jadi korban ghosting, lalu kena siraman petuah panjang kali lebar tiap kepingin punya pacar—tapi Puji Tuhan, keinginan ini sudah terwujud sempurna.

Dia nggak bakal tau serunya nyolong mangga dan merasa bangga pamer skill memanjat, terus lanjut main truth or dare berujung kena siraman air garam gara-gara disangka kesurupan.

Dia nggak akan tau asiknya karaoke berjam-jam setelah stres hadapi ujian.

Dia nggak akan melihat huru-hara empat cowok itu ketika dia tembus pas datang bulan, lalu pengorbanan besar yang mereka buat agar ia tetap nyaman.

Dia nggak akan punya support system yang setia menemaninya latihan lomba, pun selalu meyakinkan dia untuk percaya sama kemampuan sendiri.

Dia juga nggak bakal tau rasanya rumah selalu ramai karena jadi tempat nongkrong paling nyaman bagi empat cowok itu, nggak akan punya kesempatan menceritakan kisah mbakyu kunti penghuni pohon mangga, dan lucunya melihat mereka yang pasrah kalau didandani macam-macam.

Masih banyak lagi momen yang belum Monita sebutkan, soalnya kalau mau dijabarkan semua, cerita ini bisa-bisa batal kelar.

Intinya ya gitu. Memiliki Aiden, Biru, Calvin, dan Denil adalah hal menyenangkan yang paling Monita syukuri. Sisi cerah yang berhasil membuatnya lupa akan bagian kelabu, dan percaya bahwa meski jalan hidup tak selalu mulus, semua bisa baik-baik saja selama mereka bersama. aciaa.

Cukup sudah sesi tebar-tebar pujian yang bikin telinga empat cowok itu pada mekar sempurna, mari kita lanjut ke bagian inti cerita.

Memasuki akhir tahun, cuaca kerap pancaroba. Tadi siang matahari masih terang benderang menyinari bumi, sorenya hujan mulai turun bagai tak ada niat berhenti, lalu malamnya ada gerimis tipis yang bikin udara makin dingin serasa tembus tulang.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang