43 | bukan ekspektasi

1K 68 54
                                    

___________________

“Kenapa Bunda nggak pernah marah Ayah? Ini udah kesekian kali Ayah ingkar janji.”

Sekali waktu Biru pernah bertanya begitu, sebab lagi dan lagi Ayah melewatkan makan malam, padahal dari sore Bunda sudah repot menyiapkan banyak masakan termasuk sup ayam pedas kesukaan beliau. Kemarin, Ayah sendiri yang bilang nggak akan lembur dan janji bakal habiskan waktu bersama mereka. Namun kenyataannya sampai larut malam pun beliau tak kunjung pulang, kemudian Bunda mendapat telepon katanya Ayah ada pekerjaan mendesak yang nggak bisa ditinggalkan.

Biru kesal setengah mati. Ayah terlalu sibuk bekerja, seakan menganggap hal itu lebih penting dari apa pun. Beliau jadi jarang ada di rumah, malah kadang sampai satu minggu nggak pulang karena mengurus proyek di luar kota. Setiap weekend pun Ayah nggak pernah lagi mengajak Biru main, apalagi pergi berwisata sebagaimana biasa. Tiap kali Biru bertanya apa alasannya, jawaban Bunda selalu sama.

Ayah masih sibuk, belum punya waktu luang.

“Kamu marah sama Ayah?” Bunda balik bertanya, sembari mengambil potongan rendang untuk ditambahkan ke piring milik Biru.

Makan malam yang dipersiapkan buat bertiga kini hanya dinikmati berdua, seperti hari-hari kemarin.

“Banget,” jawab Biru dengan hati yang masih dongkol. “Ucapan Ayah nggak bisa dipercaya, banyak bohongnya.”

“Ayah nggak bermaksud kayak gitu.”

Mendengar pembelaan Bunda, kernyit tak suka spontan hadir di keningnya. “Nggak bermaksud gimana, Ndaa? Buktinya sekarang Ayah nggak ada, padahal udah janji mau makan bareng.”

“Tadi kamu dengar sendiri ‘kan Ayah bilang apa? Pertemuan penting yang dijadwalin buat besok tiba-tiba dimajuin jadi malam ini, karena tamu dari daerah lain ternyata harus pulang lebih pagi,” balas Bunda dengan lebih sabar.

“Emangnya nggak bisa ya, pertemuan kayak gitu nggak usah bareng Ayah?”

Senyum tipis sang bunda berikan, sebelum menggeleng sebagai jawaban.

“Kenapa? Ayah ‘kan bosnya, jadi boleh dong ngatur suka-suka.”

“Justru karna Ayah adalah bos, dia wajib pastikan semua pekerjaan berjalan baik, Biru. Itu baru namanya tanggung jawab.”

Biru membuang napas panjang, lalu bahunya refleks merosot seraya punggung disandarkan penuh pada kursi. Ia sendiri belum paham segala lika-liku dan kerumitan dunia pekerjaan, tapi satu yang pasti, kalau seseorang terlalu sibuk bekerja sampai-sampai mengorbankan waktu bersama keluarga, bukankah itu hal yang buruk?

Biru memang nggak begitu dekat dengan Ayah. Hanya saja, sekarang ia merasa sosok Ayah seperti makin jauh, bersamaan dengan kasih sayang yang turut memudar. Dalam hati Biru merindukan momen-momen ketika Ayah mengajaknya pergi main futsal di lapangan kompleks, jalan-jalan dengan moge keliling kota, nonton pertunjukan musik dari anak jalanan sambil makan tempe mendoan, atau sesederhana duduk di taman sembari menyaksikan dia pamer skill taekwondo yang baru dipelajari.

Ayah bukan pribadi yang punya selera humor tinggi, tapi pandai mencari topik bahasan sehingga Biru selalu nyaman menghabiskan waktu dengan beliau. Mengobrol dengan Ayah adalah hal yang sekarang ingin sekali ia lakukan, namun selalu terhalang pekerjaan.

“Aku mau makan bareng Ayah,” ucap Biru lebih mirip gumaman.

“Ayah juga pasti mau makan bareng kamu, hanya hari ini belum bisa.”

“Terus bisanya kapan?”

Bunda terdiam lama, mungkin nggak tahu harus menjawab apa.

Kadang, ini yang bikin Biru makin kesal. Bunda kerap memaklumi segala kesibukan Ayah, terus-terusan sabar, dan nggak pernah layangkan protes. Biru pikir, andai saja Bunda sedikit lebih tegas melarang Ayah lembur setiap hari, mungkin Ayah akan punya banyak waktu bersama mereka.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang