_____________________
Cowok bertudung hitam itu mengeratkan kedua tangannya dalam saku jaket. Malam ini terasa lebih dingin dan masih ada gerimis yang turun membasahi bumi. Jalan yang ia lewati benar-benar sepi. Hanya terdengar semilir angin meniup ranting pohon, juga kecipak air yang beradu dengan sepatunya. Pencahayaan minim. Di sepanjang gang hanya ada satu lampu jalan, itu pun remang-remang.
Semakin jauh ia melangkah, hawa kian suram dan mencekam. Bulu kuduknya mulai menggermang. Dalam hati, ia merutuki diri sebab terlampau nekat melewati permukiman yang terkenal angker ini. Terbukti jelas dari tampilan tiap rumah yang penuh sarang laba-laba, banyak kaca jendela yang pecah, atapnya berkarat, kayu-kayunya lapuk, ada lumut yang menempel di dinding, juga tumbuhan liar lain yang menjalar subur pada lantai hingga tiang-tiang bangunan.
"Kalau dengar ada yang manggil apalagi anak kecil, nggak usah ditanggapi. Bisa jadi itu bukan manusia."
Peringatan dari temannya kembali terngiang, lantas menghadirkan perasaan gentar lebih dari yang sudah-sudah. Peluh mulai mengalir di dahi dan lehernya, sementara udara bertambah dingin disertai angin yang makin kencang. Wajah cowok itu pucat pasi sarat akan takut. Sepanjang jalan, belum ia jumpai satu pun orang.
Sayup-sayup, terdengar beragam suara aneh yang memecah kesunyian dan menambah kengerian. Mulai dari tangisan bayi, tawa anak-anak kecil, musik campursari yang mengalun lembut, suara sendok penggorengan beradu pada wajan, teriakan samar ibu-ibu, sampai obrolan dari bapak-bapak. Ramai. Memberi kesan seolah penghuni dalam gang ini ada dan hidup, padahal sudah lama mati—dibantai secara brutal oleh sekelompok teroris bertahun-tahun silam.
Seakan belum cukup bikin merinding, napas cowok itu tertahan sempurna tatkala mencium aroma kembang serupa melati yang bercampur dengan kemenyan. Baunya amat kuat, diikuti udara dingin yang menembus kulit. Lalu, terdengar bisikan lirih dari arah belakang.
"Kak...."
Cowok itu langsung mempercepat langkah bahkan setengah berlari. Matanya terus tertuju ke depan, enggan melirik samping kiri kanan. Gelap kian menyelimuti sementara suara-suara itu makin berisik di telinga.
Tiba-tiba saja, ia merasakan seperti ada sosok kecil yang ikut berlari di sampingnya.
"Kak... mau ke mana?"
Sial!
Suara lirih anak itu lagi.
Tanpa banyak berpikir, ia lari sekencang mungkin mengabaikan detak jantungnya yang menggila. Ujung gang sudah terlihat jelas di mata, tetapi anehnya, jalan yang ia pijaki seakan bertambah panjang, membuatnya tak kunjung sampai. Wajahnya penuh keringat. Ia ingin berteriak keras namun suaranya tertahan di tenggorokan.
Lantas perlahan, suara-suara berisik itu semakin jauh dan hilang. Di detik berikut, wangi kembang serta kemenyan pun turut lenyap. Telinganya tak menangkap suara apa pun selain desir angin, hidungnya juga hanya mencium bekas hujan.
Keadaan kembali seperti sedia kala.
Untuk sesaat, cowok itu merasa lega. Berpikir bahwa hal mistis yang barusan terjadi pastilah ilusi semata akibat dia yang kelewat takut.
Namun....
Di saat hanya tersisa lima meter untuk mencapai ujung gang, tiba-tiba bau amis darah bercampur bau bangkai manusia menyeruak kuat dan menyerang indra penciuman.
Cowok itu hampir terjatuh. Kepalanya sukses dibuat pusing dan isi perutnya bergejolak ingin keluar. Ia hendak berteriak minta tolong, tetapi lehernya serasa dicekik jemari-jemari dingin. Dadanya mulai sesak dan sulit sekali bernapas normal, sementara bau teramat busuk itu makin menjadi-jadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Defenders ✔️
Fiksi Remaja• PERFECT SERIES • [Completed] [Dapat dibaca terpisah] _____________________________________ de·fend·er /dəˈfendər/ (noun.) a person who defends someone or something from attack, assault, or injury. • • • Tentang Monita yang merasa tidak pernah m...