42 | gatot

1K 74 60
                                    

___________________

“Bir, lo udah chat Monmon belom?”

Menjadi yang paling pertama Calvin tanyakan, ketika mereka tengah serius menyalin tugas Sejarah, hasil rampok jawaban punya Sinta.

(sekadar info, mereka bisa mendadak rajin serempet bertobat gini karena Bu Rina yang umurnya sudah mendekati pensiun itu, kalau kasi sanksi kadang suka triple kill. Berhubung mereka lagi mager lari keliling lapangan, hormat Bendera sampai jam dua siang, plus bosan dapat surat peringatan dan ceramah non-stop dari Bu Jasmine, jadilah jam istirahat yang mestinya dipakai buat nongki asoy di kantin, mereka gunakan untuk ngebut kerja tugas)

Biru melirik singkat, lalu menggeleng. “Belom. Lo nggak denger si Kian Santang bilang tuh anak masih cek-ap?”

“Dia dari kemaren nyariin lo mulu, geb.”

“Nyari?”

“Ho’oh.” Calvin berhenti menulis hanya untuk melirik sinis Biru. “Lo kaga ada kabar dari hari sabtu, ditelpon puluhan kali juga kaga jawab, terus kemaren sok-sokan alpa.”

“Ya lo ‘kan dah tau tiap gue ngilang, gue perginya ke mana.”

“Ngemper di perempatan jalan buat gantian shift sama orgil, bukan?”

“Sembarangan. Itu mah elo!”

“Sori, wilayah gue di pasar malam.”

Biru membalas dengan umpatan pelan, lalu kembali fokus menyalin jawaban.

Sebenarnya, setelah apa yang terjadi pada hari minggu malam, di mana ia lepas kendali dan ribut besar dengan sang Ayah, Biru merasa tak punya banyak tenaga untuk bersikap baik-baik saja. Jika kemarin ia memaksakan diri untuk pergi sekolah, yang ada teman-temannya bakal kena imbas dari suasana hati dia yang kacau. Mau buka sesi curhat panjang lebar dan bagikan masalahnya pada mereka pun, Biru enggan sebab tak ingin jadi beban pikiran. Makanya ia putuskan ambil jalan tengah alias menghilang sejenak, demi menghalau perasaan menyebalkan itu seorang diri.

Tadinya Biru berniat habiskan waktu di makam bunda, karena hanya itu satu-satunya tempat sepi yang memperbolehkan dia untuk menumpahkan sedih. Namun, mengingat perasaannya nggak bakal berubah membaik tiap pulang dari sana, ia lekas urungkan niat dan berakhir seharian penuh keliling kota tanpa tujuan, juga pergi ke tempat-tempat random mengikuti komando otak.

Bagian yang cukup mengejutkan, saat mampir ke tempat karaoke Biru nggak sengaja bertemu Selindira, sang mantan pacar yang setahun lalu pindah sekolah gara-gara bermasalah. Sedikit cerita, dari sekian banyak cewek yang berhasil Biru pacari atau sekadar gebet, Selin ini termasuk yang nggak banyak drama waktu diputusin. Alhasil biar sudah berstatus mantan, mereka tetap sesekali saling tanya kabar, dan untuk alasan itulah dia nggak menolak waktu Selin mengajaknya karaoke di room yang sama.

Sampai tembus larut malam, Biru nggak sempat lagi untuk balas puluhan chat yang masuk, termasuk beberapa pesan dari Monita. Bukan mau sengaja abaikan atau gimana-gimana, tapi balik lagi ke penjelasan awal, dia nggak ingin keadaan hatinya yang belum benar-benar baik, bikin mood cewek itu ikutan buruk.

Tentang Monita, semua pun sudah tahu Biru menyayanginya lebih dari teman. Selama ini, kehadiran cewek itu seperti awan cerah di antara awan-awan kelabu dalam hati Biru. Seperti sinar matahari yang muncul saat hujan masih berlangsung, dan seperti cahaya bulan yang tampil pada malam gelap. Bahasa bucinnya, Monita adalah hal ‘indah’ bagi dunia Biru yang menyebalkan. Jadi sebisa mungkin, Biru nggak ingin cewek itu terbeban dengan masalah-masalah yang dia punya. Monita cukup menemaninya saat senang. Bagian yang sedih, kacau, gundah, sesak, dan penuh duka, biar ia tanggung sendiri.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang