23 | nightmare

1.9K 88 36
                                    

__________________

Biru mengernyit samar ketika mendapati dirinya kini berada dalam sebuah ruang hampa berwarna putih terang, yang tak memiliki batas pandang. Terlalu sukar mendeskripsikan secara jelas, sebab sejauh ia mengedarkan tatap, sekeliling benar-benar kosong dan asing. Masih terlampau bingung dengan keadaan macam apa ini, detik berikut dadanya terasa sesak bagai dihimpit kuat, lalu seluruh tubuhnya jadi mati rasa. Sulit sekali bergerak atau berbicara. Dia seperti sedang diikat kencang dan ditindih oleh bongkahan benda besar.

Sudut mata Biru lantas berair, diikuti keringat yang membanjiri dahi dan lehernya. Sleep paralysis atau keadaan lumpuh saat tertidur seperti ini, sering ia alami. Berulang kali Biru berupaya menggerakkan tangan atau bernapas normal, tapi hasilnya nihil. Paru-paru dia terus ditekan kuat, sampai rasanya begitu susah bahkan untuk membuka mulut. Telinga dia mendengar banyak suara aneh, bisa jadi berasal dari otaknya.

Seperti akan segera mati, pada detik lain tubuh Biru bak terlempar kencang, lalu mendadak saja ruang hampa berwarna putih terang itu cepat berubah menjadi tempat yang amat familier. Lambat-lambat napasnya kembali normal, meski dadanya masih sesak pun sekujur tubuh tetap mati rasa.

Biru berada di dalam rumah. Lebih tepatnya, di ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur. Sejenak ia menatap sekitar, menyadari interior ruangan yang tampak sedikit berbeda, tapi enggak memberi kesan asing. Retinanya terpaku pada salah satu sisi, yang mana ada sebuah pigura berukuran besar bergambar pemandangan langit cerah dan lautan luas. Menghindari kekosongan, di bagian bawah pigura tersebut ada meja panjang yang atasnya tersusun rapi banyak vas mini berisi bunga anyelir yang masih segar, dominan warna putih dan kuning.

Ia lantas bertanya-tanya. Mengapa mimpi ini terasa jelas dan nyata? Juga, bagaimana bisa ia menyadari bahwa ini hanya mimpi?

Belum betul-betul paham apa yang terjadi, suara seorang perempuan berhasil mengambil alih atensi Biru, bersamaan dengan rasa sesak yang kian menumpuk di dadanya.

"Biru, bekal di atas meja jangan lupa dibawa, yaa."

Itu suara Bunda.

Nggak. Biru nggak hanya mendengar suara. Tepat di hadapan dia, tiba-tiba sudah ada sosok wanita dewasa dengan senyum terpatri lembut, sedang duduk di salah satu kursi sembari fokus menarih beberapa potong roti dalam kotak bekal berwarna abu-abu. Wajah wanita itu agak silau karena terkena pantulan cahaya matahari yang masuk melalui jendela, tapi nggak menyembunyikan tatap teduh yang hadir melalui sorot matanya.

Lantas ribuan perasaan nyeri berlomba masuk memenuhi rongga dada Biru. Air mata dia bagai spontan luruh tanpa diminta. Ia ingin sekali mendekat atau memanggil Bunda, tapi lehernya lagi-lagi tercekik, sementara kakinya nggak bisa digerakkan.

"Bekal hari ini apa, Bunda?"

Sekarang, ia melihat ada anak kecil memakai seragam lengkap khas sekolah dasar, yang berlari menuruni tangga menghampiri Bunda. Sekilas memberi satu kecup ringan di pipi wanita itu, sebelum membuka tas dan memasukkan bekal yang telah disiapkan.

Anak itu... adalah dirinya. Versi enam tahun lalu.

"Roti daging kayak biasa. Kamu belum bosan 'kan?"

"Belum dan nggak akan bosan. Tapi, kenapa banyak banget?"

Dari sini Biru memperhatikan, senyum di bibir Bunda tertarik lebar seraya jemari lentik itu bergerak merapikan tatanan rambutnya.

"Emang sengaja Bunda lebihin."

"Hm?"

"Nanti kamu bagi sama Denil, ya."

Anak berseragam putih merah itu nampak masih bingung. Alisnya yang mengkerut, seakan minta penjelasan lebih rinci.

"Kan kamu pernah cerita kalau dia nggak pernah bawa bekal dan nggak suka makanan kantin. Bunda kasihan bayangin dia nahan lapar, apalagi sekarang kalian harus les sampai sore."

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang