29 | it's okay to say asu

1.5K 89 119
                                    

___________________

Calvin meninggalkan rumah tanpa tahu ia mau pergi ke mana. Menemui Biru jelas nggak mungkin, karena temannya itu punya kesibukan sendiri tiap malam. Pergi ke rumah Denil juga mustahil, mengingat nasib keluarga mereka hampir serupa. Ke rumah Aiden pun terlalu berisiko, dia nggak yakin bisa selamat melewati hutan belantara larut malam begini.

Jadilah terhitung hampir satu jam Calvin menyusuri jalan tanpa tujuan jelas, sampai rintik hujan yang tiba-tiba turun membuatnya terpaksa berteduh di sebuah minimarket, yang terletak nggak begitu jauh dari kompleks rumah Monita. Tadinya Calvin ingin pergi ke sana, tapi langsung ia urung. Bukan apa, dia hanya nggak punya alibi logis buat menjawab rentetan pertanyaan yang bakal Monita layangkan, lebih lagi dia nggak mau kelihatan cengeng di depan cewek itu.

Bermenit-menit Calvin duduk sendirian sembari memeluk bahu. Ia merutuki diri sebab lupa membawa jaket, sementara udara malam mulai membuat tubuhnya menggigil, dingin bagai menusuk sampai tulang. Cukup lama ia bertarung dengan pikiran sendiri, kemudian mendongak ke langit hanya untuk bertanya mengapa hari ini terasa begitu sulit dan tidak adil.

Sudah dari dulu Calvin dibanding-bandingkan dengan sang abang. Sudah dari dulu kerja kerasnya nggak pernah dihargai Papa. Sudah dari dulu ia dilabeli sebagai anak yang bisanya bikin malu, karena nggak sepintar dan sesempurna Abang. Namun, meski semua itu sudah dari dulu, Calvin nggak pernah terbiasa. Seperti anak-anak lain, dia juga mau dipeluk dan dibanggakan. Sekali saja, dia ingin Papa Mama menghargai bakatnya, bukan terus-terusan mendesak dia agar bisa seperti Abang. Calvin punya hidup sendiri. Dia nggak dilahirkan untuk menjadi orang lain.

Tanpa bisa ditahan, mata Calvin mulai berkaca. Mungkin ia akan menangis, kalau saja nggak mendengar seseorang memanggilnya.

"Calvin? Eh, bener Calvin bukan?"

Ia menoleh, lalu terlonjak kaget. "Om Papi??"

Pria paruh baya yang tengah memegang gelas kopi itu lekas menarik kursi dan tanpa izin duduk di depannya. Sesuai terkaan, pertanyaan paling pertama yang dilayangkan ialah, "kamu ngapain nongki di sini, Le? Malam-malam pula."

Ketimbang menjawab, Calvin malah balik bertanya, "Om Papi juga, ngapain di sini? Malam-malam pula."

"Oh, ini..." Beliau sejenak menggaruk leher belakang, selanjutnya pasang cengir lebar. "Ojo kasitau Mami, ya. Papi ki from yesterday pingiiin buanget ngopi. Cuma gitu deh, sama Mami nggak diijinin. Jadi Papi silent-silent kabur ke sini beli yang instan. Walau rasanya rada tawar, tapi rapopo lah."

"Waaah, berat sih ini."

"Hm?"

"Kalau Tante Mami sampai tau, pastilah aku diomelin juga."

"Makanya Mami jangan sampai tau toh, Le."

"Insting perempuan itu super kuat, Pih. Bulu hidung sekali bergetar aja dia bisa langsung tau kita bohong."

"Emang Monmon begitu?"

"Eng, kecuali Monmon sih."

Jawaban Calvin sejenak bikin Papi tergelak, sebelum kembali menatapnya. "Kamu belum jawab pertanyaan Papi."

"Ha, yang mana?"

"Ngapain kamu di sini?"

Sorot mata beliau yang lekat membuat Calvin nggak tahan untuk melempar pandang ke arah lain, seraya otaknya berupaya cari jawaban yang pas.

"Ya... cuma jalan-jalan aja, nyari udara segar. Heheh."

"Nyari udara segar mah ke puncak gunung yang kiri kanan ada banyak pohon cemara, Le, dudu nongki ndi minimarket," jawab Papi sambil bangun dan melepas jaket.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang