33 | memang menyusahkan

1.2K 88 78
                                    

__________________

"Kalau nggak bisa jadi orang berguna, seenggaknya berhenti nyusahin orang!"

Kalimat itu terngiang dalam telinga Monita sebelum dia mendapat kembali kesadaran. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengerjapkan mata berkali-kali, merasa silau dengan lampu ruangan yang kelewat terang. Butuh puluhan detik untuk menyesuaikan retina, sebelum dia mengedarkan pandang ke sekitar seraya menerka sedang berada di mana.

Ruang putih ini nggak asing. Bau obat dan antiseptik yang tajam turut masuk ke hidungnya, meski ada ventilator yang membantu dia bernapas. Monita mencoba bergerak, tapi sekujur tubuhnya terasa kaku. Ada rasa sakit yang berpusat di kepalanya, membuat dia terpaksa kembali menutup mata untuk beberapa saat, berharap nyeri itu bisa sedikit berkurang.

Belum benar-benar mengingat apa saja yang sudah terjadi sebelum ia terbaring di sini, suara ribut beberapa orang dahulu terdengar dan berhasil mengambil atensinya.

"Mami tuh bukannya nggak mau Monita ikut lomba, Pih. Tapi tau sendiri anaknya nggak boleh kecapean. Dia sekolah sampai magrib aja kadang masuk angin, nggak enak badan, tiba-tiba demam, dan segala macem. Nggak usahlah ditambah kegiatan ini itu! Toh pergi main sama temen-temennya aja Mami batasi hanya boleh malming, selain dari itu Monmon cukup di rumah, watching film, or do something yang nggak bikin sakitnya kambuh!"

Dari intonasinya, Monita bisa menebak Mami sedang sangat kesal. Dan memang wajar, sebab yang tahu dia ikut lomba hanya Kak Dara dan Disi. Rencananya baru malam ini ia ingin memberitahu Papi Mami, tapi situasi berkehendak lain.

"Udah, Mih, tenang dulu." Suara Iresa gantian terdengar. "Saiki we're in hospital, dudu omah. Jangan ngomel terus."

"Gimana nggak mau ngomel, Res?? Tadi pagi Mami lihat adekmu masih baik-baik aja, semringah kayak biasanya. Lah sekarang mimisan dan mendadak pingsan!"

"Ya tapi—"

"Dara juga. Kok bisa sih ada gladi lomba sepanjang hari dari matahari terbit sampai gantian bulan yang terbit?? Perasaan gladi orang nikahan juga nggak selama itu kok. Dan lagi, kenapa kamu nggak pastiin dulu Monita bawa kotak obatnya? Wes Mami told everyday untuk selalu bawa dan nggak boleh lupa minum. Dokter bilang lambungnya juga bermasalah karena telat makan loh. Kamu minta dia ikut lomba, tapi nggak perhatiin kesehatannya. Kalau tadi adekmu pingsan pas masih gladi, gimana? Siapa di sana yang mau ngurus?"

"Maaf, Mih, aku nggak pastiin itu."

Suara Kak Dara yang begitu pelan sarat akan rasa bersalah, lantas bikin hati Monita tercubit. Jelas-jelas di sini dia yang lengah, tapi sang kakak yang terus dimarahi.

"Udah, Mam, jangan salahin Damara." Papi berujar tenang. "Sama kayak kita, Dara juga nggak tau Monita bakalan sakit."

"Mami nggak salahin siapa-siapa. Mami tuh cuma nggak bisa lihat Monita—" Ucapannya sejenak terganti oleh embusan napas berat. "We already know Monita nggak sekuat saudara lain. Dari kecil dia yang paling sering ke sini, harus infus, harus minum obat, harus check-up rutin, harus...."

Tuturan Mami masih terus berlanjut, namun Monita memilih untuk kembali memejamkan mata dan berusaha menulikan telinga.

Padahal, baru kemarin dia merasa sangat bersemangat dan berhasil membangun kepercayaan diri. Lalu hari ini, kenyataan menampar dia dengan keras.

Monita harusnya sadar bahwa dia itu nggak bisa apa-apa. Sampai kapan pun, nggak ada hal dari dirinya yang dapat dibanggakan. Dia hanya cewek penyakitan. Sosok beban yang selamanya bikin orang lain susah. Bahkan sekadar mengikuti lomba yang tergolong mudah saja, Monita sudah gagal total. Ia berharap bisa membuat Papi dan Mami senang, tapi kenyataannya? Mereka cemas, khawatir, dan semakin terbeban.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang