closure | kairosclerosis

546 62 189
                                    

_________________

kairosclerosis
n. the moment when you look around and realize that you're currently happy—consciously trying to savor the feeling.

Sebelumnya Denil pernah bilang, keputusan Papa dan Mama untuk berpisah mungkin akan membuat dia sedih dan sakit hati dalam waktu yang lama. Namun supaya bisa bahagia, dia memang harus melepaskan mereka—si pembuat luka, bukan memeluknya erat-erat.

Lantas, apakah semua berjalan mulus dan hidup Denil lekas berubah jadi lebih baik?

Jawabannya, enggak juga.

Meski dalam beberapa situasi ada banyak perubahan yang kental terasa, misalnya, dia sudah tidak lagi mendengar pertengkaran mereka, dia tidak perlu lagi menjadi korban pelampiasan amarah mereka, juga tidak lagi makan hati tiap kali mendengar namanya diteriaki dan disebut-sebut sebagai pembawa sial, fakta bahwa Papa ataupun Mama enggan hidup bersamanya ternyata cukup menyedihkan.

"Kamu bisa tinggal sama Papa. Dia bakal jadi produser untuk lagu-lagu kamu."

Mama lekas berucap begitu, ketika sang pengacara memberi Denil kesempatan untuk memikirkan dengan siapa dia akan tinggal.

"Papa senang kalau kamu ikut Papa. Tapi kesehatan Mama nggak begitu baik. Mungkin lebih bagus kalau kamu tinggal sama Mama aja."

Lalu Papa berkata demikian, saat Denil menyampaikan keputusannya untuk tinggal dengan beliau.

Apa kesimpulan yang bisa diambil?

Yap, benar. Baik Papa atau Mama, tidak ada yang mau mengurus Denil.

Sampai pada titik di mana mereka akan berpisah pun, tidak ada yang mau mencoba memikirkan seperti apa perasaannya, bagaimana kehidupan dia kelak, juga bagaimana masa depan dia nanti. Denil seakan benar-benar dibuang, dan tidak diharapkan hadir menemani lembaran hidup baru yang akan mereka ukir.

Calvin sempat bilang, satu kata paling tepat untuk mewakili nasib Denil adalah kasihan.

Itu benar, seratus persen valid.

Dia punya orang tua yang lengkap, tapi hidup selayak yatim piatu. Yang lebih menyedihkan, harapan-harapan yang kerap ia mohonkan dalam doa, mungkin selamanya tidak akan pernah terwujud.

Namun, sebagaimana selalu ada sisi cerah di tengah dunia yang kelabu, Denil sadar bahwa jika dia terlalu fokus menyelami kubangan luka ini, merasa seolah cuma dia satu-satunya anak yang paling menderita dan nelangsa, maka dia bisa melewatkan banyak momen pink yang Pencipta sediakan untuk menghiburnya.

Lagian kalau mau dipikir dari sudut pandang lain, seperti Denil yang tidak pernah meminta terlahir sebagai anak Papa dan Mama, kedua orang itu juga tidak pernah berencana memiliki dia. Mereka tidak mengharapkan dia ada, jadi masuk akal bila sampai sekarang, mereka tidak menyayanginya. Bertahan sebagai 'keluarga' selama lebih dari delapan belas tahun itu butuh pengorbanan yang besar 'kan? Apalagi bersama orang yang tidak dicintai.

Ini bukan sepenuhnya salah Papa dan Mama. Bagaimanapun, mereka juga manusia tidak sempurna yang berlumuran dosa pekat. Denil cukup ambil hikmahnya saja, bahwa andaikata dulu dua orang itu nggak khilaf, otomatis dia nggak tercipta di muka bumi.

Bahasa sombongnya sih, sayang banget dooong kalau makhluk tampan rupawan idaman seperti dirinya ini batal debut di dunia???

"Niel, menurutmu cakepan mana? This one seng warna ijo telur asin, opo this one seng ijo mint? Mami ki gelemnya blue, but yang warnanya uapikkk like this Mami belum punya."

Sesi bengang-bengong Denil lekas buyar total, saat mendengar suara dari samping. Begitu menoleh, di dekatnya sudah berdiri sosok wanita paruh baya bergaya sosialita, yang tengah menenteng dua tas dengan merek, ukuran, dan desain yang sama, cuma beda tone warna. Ekspresi beliau kelihatan bingung, seakan benar-benar butuh pendapat Denil.

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang