56

119 3 0
                                    

Tidak mudah untuk mengendalikan pikiran seperti normal kembali, dimata Leonar barusan bahkan ia tidak mengenali Neira. Bukan racun mematikan yang dibubuhkan pada peluru yang mengenai pelipisnya, akan tetapi obat halusinogen untuk memicu emosi serta ingatan kelam itu mempengaruhi, begitu cepat menyebar lewat pembulu darah, menguasai hampir seluruh kesadaran yang dimiliki.

Seandainya Leonar tidak meminum obat-obatan yang diraciknya tadi, mungkin ia benar-benar kehilangan akal sehat.

Susah payah melawan pengaruh obat tersebut, ia juga harus menghindari Neira beberapa saat agar obat yang telah diminum bekerja maksimal menetralisir efeknya.

Memanaskan makanan beku di microwave, pria ini duduk bertopang dagu, lantas mengacak rambut dengan dua tangan sementara di depannya terdapat setengah gelas air putih yang tadi belum dihabiskan. Apa yang sebenarnya telah ia lakukan tadi?

Luka di kepala Neira serta lebam di punggung wanita itu yang dilihatnya sungguh menghilangkan kontrol emosi.

Rasa lelah kini mencengkeram benaknya, tidak ada kata yang ia dengar dari Neira justru membuatnya merasa begitu frustasi.

Seharusnya wanita itu akan langsung protes bila tidak menginginkan sesuatu, perkiraan akan sikap Neira yang tidak biasa sungguh menghempasnya ke tebing yang paling curam. Andai wanita itu berteriak padanya kalau ia tidak ingin bertemu dengan kakaknya atau protes tentang keberadaan Frentina di Villa tersebut, Leonar pasti lebih bisa menguasai keadaan dirinya saat ini.

Menghela panjang, Leonar meneguk habis air didepannya sebelum mengeluarkan makanan dari microwafe, alih-alih ingin menyiapkan dan membawa ke kamar Neira, sebuah suara sesaat menghentikan gerak tubuhnya. Meraih kembali pistol yang tadi diletakkan dimeja, memastikan kesadaran yang dimiliki cukup untuk memahami situasi di sekitar.

Penuh waspada, ia membawa langkah keluar ruangan dapur menuju ruang tengah,
"Apa yang ingin kamu lakukan?...Dengan pakaian seperti itu?" Tanya pria ini sambil menyembunyikan pistol dibelakang tubuh saat menemukan Neira sedang mengeluarkan sebelah kakinya dari sebuah jendela yang terbuka setengah, dengan handuk mandi itu yang melilit tubuhnya.

"Ah,aa ... aku ... ingin keluar," suara Neira terbata sembari menarik kembali sebelah kakinya yang sudah terlanjur berada diluar. Wajahnya semakin memucat sementara gestur tubuhnya menegang.

"Bukankah ada pintu? Kenapa harus jendela?"Leonar cepat menghampiri dan menyambar tubuh wanita itu sebelum luruh ke lantai. Apakah tebakan Leonar salah bahwa wanita ini sedang ketakutan, kepada dirinya kah?

Ada gerakan kecil yang ia rasa saat merengkuh tubuh Neira dalam dekapan, penolakan... Benarkah wanita ini mencoba dengan sangat untuk menolaknya? Tapi Leonar tidak ingin melepasnya, ia berniat untuk berlaku lebih namun dengan payah ia menahan diri, walau sebenarnya Leonar juga menginginkan bahwa wanita ini dapat menghiburnya agar ia lebih bisa mengendalikan diri dari efek obat halusinogen yang belum hilang sempurna.

Hanya menenggelamkan kepala dalam ceruk leher Neira, Leonar harus merasa cukup untuk menetralkan kesadarannya. Merasakan dingin kulit wanita itu menembus panas dalam aliran darahnya.

Ah.. Egoiskah Leonar, hanya mementingkan keadaan dirinya tetap sadar tanpa peduli bahwa Neira juga membutuhkan tautan, memerlukan pegangan yang sungguh kuat agar dia juga tidak pecah berantakan seperti vas bunga yang berkeping saat terlempar oleh tangan Frentina.

Suara pintu yang berderak membuat Leonar mengangkat kepala, entah kenapa panas terasa disekelilingnya, sekitar puluhan orang menghampiri dengan laras panjang terarah padanya. Kobaran api begitu tiba-tiba menyala disekeliling dengan asap yang menghalangi pandang sekaligus menyesakkan dada.

***--**--***

"Apa kita sudah terlambat?" Grifson bergegas menghampiri Leonar yang tengah menodongkan pistolnya tepat dikepala Neira. Sedangkan Marco segera bergerak cepat menyambar tubuh Neira berharap tindakan mereka belum terlambat.

" Ah... Syiit... "Marco memaki dirinya karena peluru dari pistol yang di pegang Leonar akhirnya mengenai lengan Neira, meski hanya tergores tapi Marco sungguh menyesalkannya.
"Kenapa kamu tidak bicara lewat telepon saja dari pada datang kesini baru menjelaskan!" Runtuk Marco menatap Grifson sengit sambil merengkuh tubuh kurus Neira membawanya menjauh.

Sementara itu Grifson sibuk menghadapi Leonar yang menyerangnya dengan membabi buta.. Beberapa menit lalu ia datang tergesa menjelaskan bahwa ada sekelompok orang yang sengaja dikirim untuk membunuh Leonar dengan obat halusinogen yang menyiksa ingatan dan menghabisinya perlahan sekaligus dengan orang-orangnya.

"Menjauhlah...Aku akan segera membereskan ini! " Grifson terlihat kuwalahan menghadapi Leonar karena gerak ruangnya terbatasi.

Melihat hal itu, Marco segera membawa Neira masuk ke ruang kesehatan dan mengunci pintunya dari dalam baru ia melepas Neira yang masih tidak bergerak dalam rengukuhannya.

"Anda tidak apa?" Marco memegangi kedua lengan Neira yang terlihat pucat pasih wajahnya. Wanita ini menatapnya tanpa berkedip seolah ingin mempertanyakan banyak hal padanya.

"Ah... Luka Anda! " Marco segera mendudukkan Neira di sebuah kursi dan segera mengambil obat yang dibutuhkan lantas mengobati lengan wanita ini, juga luka di kepala dan memar punggungnya. Laki-laki ini pun mengambil beberapa pakaian untuk Neira, setelan pria.
"Maaf... Nona mungkin tidak nyaman, tapi hanya ada pakaian seperti ini disini" Marco mengangsurkan pakaian ditangan yang diterima Neira tanpa berkedip.

Om Marco...benarakah ini anda? Ada bening mengaca di tatapan Neira, ia seperti mengingat seorang kepercayaan ayahnya yang dulu ditempatkan disisinya, mengajarinya banyak hal sebelum ia menghilang tanpa kabar.

menyadari Neira menatapnya dalam diam, Marco yang tengah mencuci tangannya sejenak berhenti menggertakkan rahang, sebelum akhirnya meraih kain lap untuk mengeringkan tangan.

" Sebaiknya anda istirahat dan berganti pakaian, saya akan melihat situasi di luar" Ucap Marco.

"Apakah anda disini karena ayah?" Neira mengepalkan tangannya, tidak sanggup menatap Marco yang sekarang seolah menjaga jarak darinya, padahal dulu yang Neira ingat Marco seperti ayahnya lebih tepatnya penganti ayah yang  jarang hadir untuknya.

" Saya hanya menjalankan perintah untuk melindungi anda, dari Mr. Leo sekalipun. Jadi jangan berpikir berlebihan... Dan sebaiknya anda tidak membahayakan diri anda lagi" Marco ingin segera keluar, ia harus membantu Grifson sebelum kejadian beberapa tahun lalu terjadi lagi..

Karena obat serupa membuat Leonar kehilangan akal dipengaruhi efeknya. Ia membunuh semua orang yang telah membantai keluarga sahabatnya sekaligus menghabisi orang-orangnya sendiri tanpa sisa.

Saat itu, yang paling senang adalah guru Leonar sendiri yang mengajarinya dan membawanya masuk dalam dunia hitam. Lantas, apakah benar orang tersebut menginginkan kematian anak emasnya sekaligus pengikutnya dengan menjadikan Leonar kelinci percobaan atas obat yang dikembangkannya. Setelah mencoba mengeruk dana perusahaan di Cina tanpa bisa menjadikan perusahaan gulung tikar seperti keinginannya. Sungguh, Marco masih sangsi atas kebenaran yang di dapatkan, bukankah orang itu sungguh sangat menyayangi Leonar.

Marco membuka pintu dan menghilang dibaliknya, sekarang hanya ada Neira yang duduk terdiam tanpa bisa berkata apa, ia benar-benar harus mencerna keadaan apa yang sekarang di hadapi, Leonar dan orang-orang di sekitarnya. Ternyata ia tidak paham betul dunia Leonar, apapun yang ada dipikiran pria itu membuatnya semakin asing, padahal dalam bayangannya dulu ia menginginkan suami seperti orang kebanyakan, yang pergi bekerja dan pulang untuk keluarga, sesederhana itu.

Pikiran Neira carut marut, sesak didada begitu menyakitkan terasa, ia segera memasuki kamar mandi segera mengganti pakaiannya. Sudah cukup untuk menyesalkan semuanya.
------------------------------------------
02 am, Tuesday, 17th September 2024
------------------------------------------

Dalam pekat mendung menutup cahaya,
Sunyi.... Angin pun enggan berdesir lirih.,
Betapa riuh riang kemenangan yang didapat,
Tanpa belas kasih, mencabik-cabik lara yang meringkuk dalam bilik sepi.

Perih... Rasanya terlalu menyayat hati,
Raungan mendekap kegelapan mengalahkan kekuatan diri.
Luruh berganti mengosongkan jati diri tanpa ada lagi jiwa yang terisi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TOUCH MY HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang