37

609 25 0
                                    

" Mengapa harus Hota, aku punya kamu yang jadi istriku. Bukankah itu artinya aku bukan seorang Gay!?" Neira terkejut karena sesorang memegangi dua pundaknya dan suara itu persis berada disisi telinganya.

Dadanya berdesir karena pria itu begitu dekat tak berjarak dengan tubuh dan wajahnya.

" Kenapa kamu menuruti permintaan Hota untuk membantunya, tapi kamu selalu menolak permintaanku. Bukankah aku yang sudah menikahimu bukan Hota?" Tangan Leonar bergerak memeluk leher Neira dari belakang.

Terdiam Neira mendapat pemrlakuan yang tidak biasa dari Leonar di kantor seperti ini, apakah ia harus menghindar dan menolak. Kata-kata Leonar barusan begitu telak menusuk ulu hatinya, mungkin benar apa yang dikatakan Selina, ia tidak pernah bisa membuka hati untuk pria lain, tapi apakah adil membiarkan Leonar terus menunggunya, meski cara Leonar seolah tidak peduli dengan sikap Neira yang selalu tidak menerima pernikahan mereka.

" Ini dikantor Leo..." Entah kenapa kata itu yang terurai dari mulut Neira membuatnya kembali terdiam mendengar dengusan nafas pria ini disisi telinganya.

" Aku tahu, tapi siapa yang berani melarang aku untuk berterimakasih atas makanan yang dibawa Hota pagi ini."

Glek, Neira berusaha membasahi kerongkongannya dengan menelan air ludahnya, kapan Leonar bisa berkata sekaligus bersikap semanis ini yang ada sikapnya begitu dingin tanpa expresi. Apakah Neira hanya melihat hal tersebut dari pria yang sedang memainkan kancing kemeja bagian atasnya ini.

Perlahan tangan Neira meraih jemari besar Leonar menghentikan pergerakannya. Walaupun tidak ada orang diruangan tapi tetap saja itu membuat Neira merasa risih.

" Leo... " ragu Neira mengucapkan kalimatnya.

" Hmm, katakanlah!" Leonar menarik tangannya ia duduk di pinggir meja kerja Neira sehingga dapat melihat expresi wajah istrinya yang gusar.

" Jika... Jika ada wanita lain yang membuatkan makanan, apakah kamu akan memperlakukannya begitu baik?"

Neira tidak mampu untuk membalas tatapan Leonar yang dingin, ia tidak bermaksud untuk mengatakan kalimat yang ambigu seperti itu, tetapi rasa takut kehilangan kembali merasuki hati dan pikirannya sehingga kata tersebut yang keluar.

Mengernyitkan dahi Leonar menghempas nafasnya kasar,
sebagai pasangan yang sudah menikah kenapa wanita ini bisa begitu saja menjungkirbalikkan mood paginya yang begitu cerah tak berawan seperti langit diluar sana.

Kembali menghempas nafas berat, Leonar berdiri dengan tangan bertopang meja, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk gelisah diatasnya.

" Kenapa harus wanita Lain yang kamu bahas, bagiku cukup kamu dan jangan tanyakan yang lainnya. Apakah kamu selalu tidak bisa berfikir yang sederhana saja untuk pernikahan kita, dimana kamu menempatkan hati dan pikiranmu itu setiap kita bersama?" Ada terselip rasa jengkel dalam tekanan suara Leonar. Bagaimana caranya agar bisa membuat wanita ini faham apa yang di-inginkannya.

Bukankah ia pernah bilang pada Neira kalau tidak ada niat main-main dengan pernikahan mereka, harus dengan apa lagi Leonar meyakinkannya.

Apakah ia harus memaksa wanita ini untuk mengerti kalau mereka sungguh benar-benar sudah melangsungkan pernikahan. Tapi Leonar tidak ingin dengan cara itu ia mendapatkan hati Neira. Sampai saat ini ia cukup bersabar, ia harus punya kesabaran lain untuk mengerti segalanya yang ada dipikiran dan hati wanitanya.

" Aku tidak akan meninggalkanmu Neira, apapun yang terjadi selain maut yang ditakdirkan, jadi buang semua rasa takut dan khawatirmu!" tangan Leonar menyentuh tombol save pada keyboard laptop didepan Neira, mengurungkan keinginannya meraih tubuh wanitanya kedalam pelukan karena suara ponselnya yang berteriak membuyarkan kekelaman ruangan tersebut.

Leonar menyentuh kepala Neira mengelusnya sebentar, menyadari wanita ini terdiam gelisah dan tak bersuara.

" Aku sangat menghawatirkanmu, jadi bisakah kamu tinggal bersamaku? Secepatnya aku menunggumu" pinta Leonar sebelum meyakinkan dirinya untuk beranjak pergi.

Terpaku Neira menyadari Leonar meninggalkan ruangan, apakah ia pergi dalam kemarahan. Lantas kenapa hari ini Neira tidak bisa mengexpresikan hal sebenarnya yang ada dipikirannya, bahwa ia ingin berterimakasih karena Leonar sudah menolongnya kemarin dan bagaimana ia harus minta maaf nantinya telah menyinggung perasaannya.

Selalu seperti itu, respon penolakan tubuh dan pikirannya tidak dapat ia kendalikan atas uluran sikap baik Leonar padanya.

Mendesah panjang, Neira menutup wajahnya menyesali kata-katanya tadi dengan menopangkan kedua sikunya ke meja. Harusnya ia senang Leonar datang menyapanya, harusnya ia bersikap manis pada pria tersebut, lantas apa yang selama ini ia perbuat hanyalah mengesalkan hatinya terus dan terus.

--**--**--

Berjalan cepat Neira menuju ruang arsip, ia merasa ada langkah seseorang dibelakang yang mengikutinya atau itu hanya bayangan halusinasi pikirannya saja. Senja sudah menampakkan jingganya diluar sana saat Neira menyalakan lampu ruangan yang sunyi nan muram itu,  hanya ada rak-rak dokumen yang berdiri menjulang disana.

Terdapat lima ruangan lebih disana untuk memilah dokumen-dokumen perusahaan GSN, dan hanya sepuluh pegawai yang bekerja untuk merapikannya, enam orang laki-laki serta empat orang perempuan termasuk Neira.

Demi menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Hota, Neira memaksakan diri untuk masuk ke ruangan demi ruangan arsip, mengesampingkan rasa takut yang mulai menjalari tubuh dan pikirannya. Dihari sabtu dan minggu tidak ada pegawai ruang arsip yang datang bekerja hingga membuat ruangan tersebut terlihat menyeramkan.

Ada sosok hitam menghadap salah satu rak dokumen disana saat Neira memasuki ruangan ke-3, penerangan yang redup membuatnya tidak jelas di penglihatan, tidak ada seorang pun pegawai yang masuk kerja pada hari sabtu lantas siapa sosok hitam tersebut.

Ingin berlari saja dari tempat tersebut tapi sepatu yang dipakainya membuat Neira jatuh terduduk, segera ia memejamkan mata dan
mengepalkan tangan yang menopang tubuhnya agar tidak jatuh kebelakang.

"Manusia atau hantukah disana?"
Gumam Neira serasa ada hawa aneh yang mendekatinya.

"Apakah kamu pernah melihat hantu setampan aku?!" Sosok hitam itu berdiri tepat didepan Neira membuatnya tidak mampu membuka matanya yang tertutup rapat.

Neira menahan nafasnya dan memalingkan mukanya perlahan tanpa membuka matanya, ia benar-benar merasa takut sekarang. Membayangkan hantu atau vampir dalam film-film yang pernah ditontonnya akan pergi begitu saja bila tidak mencium bau nafas orang yang akan didekatinya.

Inikah akhir dari hidup Neira, jika benar ia ingin memohon untuk yang terakhir kalinya agar diberi kesempatan untuk meminta maaf pada suaminya atau hanya bertemu sekali lagi dan mendapatkan maafnya. Ah.. Bukankah intinya itu sama saja. Tapi, kenapa hanya dia yang ada dipikirannya saat ini.

Tbc......................

TOUCH MY HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang