62. Please, Wake Up

904 51 0
                                        

Jaki langsung berlari mengamankan pisau dan anak panah milik Jia sebelum semuanya makin parah. Ia menyerahkannya ke polisi, lalu buru-buru menahan kembarannya yang terlihat hampir kehilangan kendali, siap membunuh perempuan yang tadi menembak Kakaknya.

"JAKA STOP!" Teriaknya untuk kesekian kalinya.

Jaka sangatlah dengki dengan perempuan itu, perempuan yang berstatus sebagai pacarnya disini. Sekarang yang ia inginkan adalah melesatkan tembakan ke perempuan itu kearah yang sama seperti perempuan itu menembak Kakaknya.

Polisi segera bertindak, lima orang di antaranya mengamankan perempuan itu ke mobil khusus. Tapi Jaka masih saja berusaha maju.

"JAKI LO KENAPA SIH? DIA JUGA HARUS NGERASAIN!"

"GAK GINI JAK NANTI LO JUGA KENA MASALAH!"

"GUE GAK PEDULI!"

Jaki menatap kembarannya yang sudah lama tak berjumpa. Sorot matanya dalam dan penuh rasa takut.

"GUE PEDULI JAK, GUE PEDULI SAMA LO! MAKANYA SERAHIN SEMUANYA KE POLISI DAN TUNGGU KEPUTUSAN MEREKA."

Jaki sangat ketakutan. Jika Jaka benar-benar melakukan hal bodoh, kembarannya bisa menyusul Mamanya—terjebak dalam jeruji.

Melihat Jia saja sudah cukup menghancurkan hati Jaki. Ia tidak mau kehilangan siapa pun lagi.

"Benar, Ananda Jaka," ucap seorang polisi. "Anda juga salah satu dari komplotan ini. Artinya, Anda harus ikut kami untuk diselidiki."

Ucapan itu hanya menambah amarah Jaka.

"Ga gabisa, saya HARUS—"

"DENGAR! ANDA BELUM PUNYA HAK UNTUK BERTINDAK APA PUN. SEKARANG IKUT KAMI!"

"GAK MAU! SAYA MAU PASTIKAN KAKAK SAYA SELAMAT. KALO SAMPE DIA APA-APA, SAYA BAKAL BUNUH PEREMPUAN BAJINGAN ITU!"

Keduanya—Jaka dan Jaki—tampak sama hancurnya, hanya berbeda cara. Setelah perdebatan panjang, polisi akhirnya mengalah, membiarkan Jaka ikut sampai keadaan Jia lebih stabil.

Sementara itu, Jaki berdiri kaku. Ekspresinya kosong, seolah jiwanya tidak ada di sana. Otaknya berhenti berpikir, hatinya mati rasa untuk sementara waktu.


Jio berlari sekuat tenaga. Tubuhnya langsung jatuh bersimpuh di hadapan Kakaknya. Seluruh tubuhnya gemetar, seolah kehilangan kemampuan untuk hidup.

Darah mengalir dari tubuh Jia, dari perutnya, membasahi tangan Jio saat ia mencoba menekan luka itu. Pandangannya kabur karena air mata. Ia tak percaya ini nyata.

"Kak, bangun, Kak..." bisiknya pelan sambil mengguncang tangan Jia.

Tak ada respon.

Tangisan mulai jatuh satu per satu di pipinya yang berlumur darah. Suaranya pecah, penuh kepanikan dan rasa sakit.

"KAK, BANGUN KAK!!" teriaknya histeris.

Orang-orang sekitar ikut menangis melihat Jio, yang begitu kecil dan hancur.

Jeffrey buru-buru menarik Jio agar menjauh, tapi anak itu meronta kuat.

"Bang LEPASIN!" bentaknya keras.

"Jio, gak papa. Kakak lo gak papa," ucap Jeffrey sambil memeluknya.

Tapi Jio menjerit makin keras saat ambulans mulai melaju.

"BANG, LEPASIN!!"

Jeffrey memeluknya erat, menahannya dengan tenaga penuh.

Sementara itu, Jaka dan Jaki sama sekali tak bergerak. Jaki tak berani mendekati Jio, karena ia tahu melihat adiknya akan membuatnya makin panik. Lebih baik menjauh.

Dan Jio... pada akhirnya hanya bisa pasrah. Dunia rasanya mati. Ia muak, benci, marah—terutama pada semua yang mencoba menenangkannya padahal itu tak berguna.

Ia hanya ingin sendiri.



Di lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi, Jio duduk meringkuk, lututnya dipeluk erat, bahunya naik turun menahan isak tangis.

Ia kabur. Abangnya berdua malah berantem di parkiran. Yang lain entah ke mana.

Suara sepatu menghampirinya.

"Ayo, lukanya diobati dulu. Nanti pas balik, Kakaknya udah selesai dioperasi," bujuk dua suster yang sudah berkali-kali mencoba membantunya.

"NGGAK MAU!" teriak Jio sambil mendorong mereka dan berlari menjauh.

Tapi langkahnya tak sengaja menabrak seseorang—Jeffrey. Pria itu sedang menuju ruang donor darah untuk Jia.

Jio langsung jatuh. Tubuhnya lemas tak punya daya.

Jeffrey buru-buru duduk, memeluknya tanpa banyak bicara.

Jio menempelkan wajahnya di pundak Jeffrey. Tangannya mencengkram keras baju pria itu, seperti ketakutan luar biasa.

Jeffrey mengelus kepalanya pelan.

Anak ini... benar-benar hancur. Sama seperti Jia. Fisik Jia yang terluka, hati Jio yang tersayat. Jeffrey tahu mereka begitu saling menyayangi.

Saat Jio mulai tenang, dua suster menyuntikkan obat bius pelan-pelan. Jeffrey pun menggendong Jio ke ruang perawatan.

Lukanya harus segera ditangani. Goresan pisau di lehernya dan wajahnya yang dipenuhi serpihan kaca bisa makin parah kalau dibiarkan.



Setelah Harsa berhasil memisahkan si kembar yang hampir saling membunuh, Jaki duduk bersandar sambil menangis. Luka di sudut bibirnya masih mengucurkan darah.

"Ki, udahlah. Ini bukan salah lo sepenuhnya," ucap Harsa, duduk di sampingnya.

Jaki menutup wajah dengan kedua tangan. Ia ketakutan, kacau, dan terlalu hancur untuk berpikir jernih.

Sejak melihat Jia ditembak, dunia rasanya seperti runtuh. Ditambah jeritan Jio, ia hanya ingin lari dari semua ini.

Harsa hanya bisa berdoa dalam hati untuk keselamatan Jia.

Sebenarnya ia ingin menemani Jaka, tapi ia tahu—Jaki jauh lebih berbahaya saat emosinya meledak. Dia harus diawasi.

Jaki terdiam, tapi hatinya terus berbicara.

"Kak, maaf gue gak bisa lindungin lo. Adek, maaf Abang gak nemenin lo, Abang juga takut. Jak, maaf... tadi gue kelepasan lagi. Gue kangen banget sama lo, tapi lo malah bales mukul. Lo goblok banget."




Dan anak yang paling sepi dari semuanya... adalah Jaka.

Ia tak tahu harus bicara ke siapa. Jaki makin membencinya. Jio bahkan tak mau menatapnya.

Ia rindu, sangat rindu keluarganya. Tapi pertemuan mereka malah seperti neraka.

Ia merasa bersalah pada Jia, takut kehilangan Kakaknya.

Bukan dia yang menembak, tapi ini semua tetap salahnya. Andai dia tidak membawa masalah ini ke rumah.

Sendirian di toilet rumah sakit, Jaka menatap wajahnya di cermin. Wajah yang ia benci. Lebam, berdarah... semua itu hasil dari saudara kembarnya.

Ia pelan-pelan duduk di lantai. Bersandar, menutup mata, dan membiarkan air matanya jatuh satu per satu.

Semua emosi berbaur jadi satu: marah, takut, menyesal, kecewa, hancur.

Di ruangan kecil itu, ia akhirnya menangis sepuasnya. Sendiri.

J Sibling'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang