2. Rainy Day

1.9K 120 0
                                        

6 tahun yang lalu

Hujan turun deras, membungkus seluruh sudut kediaman keluarga Arash. Dingin merambat dari luar, meresap hingga ke dalam dinding rumah, namun tak sebanding dengan dinginnya rasa yang kini menguasai hati Arash. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena suhu udara, tapi juga karena panas dingin yang menjalari setiap persendiannya.

Ia sedang sakit. Bukan hanya fisiknya, tapi jiwanya pun terasa rapuh.

Untung saja, ada putrinya yang selalu setia merawatnya. Obat yang disuapkan sang anak sudah ia telan, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih pahit yang harus ia sampaikan. Sesuatu yang menekan hatinya semakin dalam setiap kali ia mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia takut, sangat takut. Bagaimana caranya memulai pembicaraan ini? Bagaimana jika anaknya terluka mendengar ini?

Arash menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya. Sudah saatnya.

"Kakak..." suaranya pelan, penuh ragu, sembari tangannya perlahan mengelus rambut hitam panjang putri satu-satunya.

Ia mengusap pipinya dengan lembut. Putrinya, yang kini sudah beranjak besar. Jia, yang kini berusia 12 tahun, sudah hampir remaja. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

"Kenapa yah?" jawabnya dengan menatap mata sang ayah.

"Kamu udah besar ya, udah mau SMP, udah pinter, cantik, bisa jagain adiknya lagi." Arash semakin bingung ingin mengatakannya dari mana.

Ia tahu ini adalah keputusan yang sudah lama ia pikirkan, tapi mengatakannya? Itu adalah hal yang lain.

"Kakak pasti tahu kan, Ayah dan Mamah sering bertengkar?" suaranya sedikit bergetar. Jia mengangguk pelan.

"Kakak juga tau kan Mamah jarang pulang?"

Jia mengangguk lagi.

"Bahkan, kita sakit pun.. Mamah ga pulang yah." Jia menimpali, suaranya terdengar kecil tapi penuh luka.

Arash menelan ludah, berusaha keras menahan air matanya. Ia menarik Jia ke dalam pelukannya, hangat namun penuh kesedihan yang tak bisa lagi ia sembunyikan.

"Jia ayah minta maaf selama ini kalau ga becus jaga kalian, maaf juga kalau mama jadi jarang pulang karna ayah, maaf ju-"

Suasana menjadi sangat hening, Arash sedikit terisak sebab menahan tangisannya. Jia tahu, Jia dengar, Jia pun merasakan apa yang diarasakan ayahnya walau hanya dari pelukannya.

Ayah nya yang kuat, paling keren dan hebat, Jia sudah merasa sangat bangga memiliki ayah sepertinya. Hey terus kenapa ayah nya bilang begitu?

"Jia maaf , sepertinya Ayah dan Mamah akan berpisah."

Hening. Suasana di kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang beriringan dengan hujan di luar. Jia tidak terkejut. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi suatu saat. Namun, mendengar langsung dari mulut ayahnya, pada hari ini, membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu ini akan datang, tapi tetap saja, rasa perih itu tak bisa dihindari.

Pikirannya mulai melayang, membayangkan seperti apa kehidupannya nanti tanpa sosok kedua orang tuanya bersama. Bagaimana dengan adik-adiknya? Jio yang masih kecil, masih TK. Ia khawatir dampaknya akan sangat besar bagi Jio. Tapi di sisi lain, Jia juga paham. Ayahnya telah berjuang seorang diri terlalu lama.

Mamah memang jahat, ia selalu meninggalkan mereka. Mamah terlalu gila harta, hingga lupa mereka. Mamah punya apartement untuk ia tinggal ketika bekerja. Bagi Mamah, rumah mereka bukanlah rumah, tapi lebih seperti tempat singgah sesekali. Dan di rumah itu, hanya Ayah yang benar-benar ada untuk mereka.

Namun Ayah juga punya pekerjaan berat. Menjadi dokter spesialis bedah di rumah sakit tak jauh dari sini, serta mengelola dua klinik—satu berbayar dan satu lagi untuk mereka yang kurang mampu. Ayah sudah bekerja sangat keras, dan Jia tahu, Ayah sudah memberikan lebih dari cukup untuk keluarga mereka. Tapi Mamah... Mamah selalu ingin lebih.

Jia melepas pelukan Ayahnya, menatap wajahnya yang kini tampak lebih tua dari sebelumnya, lebih lelah. Ia memegang tangan ayahnya erat.

"Ayah, ayah hebat bisa jagain kita sampe sekarang, ayah bisa ngebagi waktu kerja dan jagain kita, ga kaya Mamah."

"Ayah, kalau ini emang keputusan ayah gapapa, kita ngerti selama ini ayah dan kita hampir ga di peduliin Mama."

"Ayah yang paling keren, sabar, baik, ganteng, hebat, dan banyak lagi yang gabisa aku sebutin satu-satu sangking banyaknya, makasih selama ini udah sabar ngerawat kita. Ayah ga perlu minta maaf apa-apa lagi, kecuali maaf untuk masakan gosong ayah yang bikin kita muntaber tiga hari yang lalu."

Arash tersenyum di tengah kesedihannya, mengingat insiden masakan gosong yang membuat mereka semua sakit. Untuk sesaat, suasana yang berat ini terasa lebih ringan.

Ia menatap putrinya dengan penuh kasih sayang, lalu mencium puncak kepalanya sebelum mengelusnya lembut.

Jia, yang bingung harus berkata apa lagi, akhirnya hanya mencium pipi ayahnya dan berbisik, "Lekas sembuh, Yah." Kemudian, ia melangkah keluar kamar.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Jia mulai merasakan air mata yang sejak tadi ia tahan. Dia tidak mau menangis di depan Ayah, apalagi di depan adik-adiknya. Tapi rasa sakit itu terlalu berat untuk disimpan sendiri.

Saat melihat hujan deras yang masih mengguyur, Jia melangkah keluar, membiarkan hujan menyamarkan air matanya. Ia duduk di bawah pohon besar di halaman, membiarkan tubuhnya basah oleh air hujan, seolah berharap dinginnya hujan bisa meredam panas di hatinya.

Tiba-tiba, suara petir memecah langit, membuat Jia tersentak. Ia mulai menangis lebih keras, ketakutannya menyatu dengan kesedihan yang ia rasakan.

"Petir, Kak! Jangan di sini!" Suara yang familiar terdengar, membuatnya mendongak. Itu Jaka, adiknya, yang kini juga basah oleh hujan.

"Kamu mau bunuh diri ya, Kak?" tanyanya dengan nada cemas. Jia menatapnya, dan tanpa banyak bicara, Jaka langsung memeluk kakaknya erat.

Mereka berdua duduk di bawah pohon, basah oleh hujan, namun tidak ada yang peduli. Pelukan mereka lebih kuat dari rasa dingin yang membekap.

Seiring waktu, hujan mulai reda, begitu pula tangis Jia. Mereka masih saling berpelukan, diam dalam keheningan.

"Nanti kalau ditanya kenapa Kakak nangis, jawab aja Kakak dinakalin aku, ya?" Jaka berbisik lembut, dan Jia hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berkata apa-apa lagi.


Satu vote dari mu sangat berarti buat saya (❤ ω ❤)

J Sibling'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang