19

11.6K 1.1K 26
                                        

Pada kalian semua, tolong ya jangan mikir kalo part ini dan di atas adalah part bl karena interaksi Rio dan Zino 🙏

H a p p y 💫 R e a d i n g

"Lo tau, Yo? Gue benci banget sama Mama gue. Gue benci banget sama orang-orang yang berhubungan sama Mama gue. Gue tau, gue emang anak durhaka yang gak tau diri karna gue benci sama sesosok yang udah melahirkan gue. Tapi gue benar-benar benci sama dia! Bahkan jauh sebelum papa gue meninggal. Makanya gue langsung minggat saat Papa gue meninggal."

Rio masih diam mendengarkan cerita Zino. Tangannya dengan setia mengelus punggung Zino agar menjadi lebih baik.

"Lo tau, Yo? Saat bokap gue lagi ngantar pelanggan ke luar kota dan gak bisa pulang. Mama gue pasti bawa pulang cowok lain. Mereka pasti melakukan hal-hal yang gak seharusnya gue tau. Gue benci, Yo. Gue benci saat gue gak bisa ngapa-ngapain dan cuma bisa nangis. Bahkan, pas Papa gue mulai sakit-sakitan. Dengan teganya Mama bawa selingkuhannya ke rumah, Yo. Disitu gue cuma bisa diam sambil liat Papa gue yang kadang kena pukul atau kena tampar sama Mama."

Zino menjeda ucapannya sejenak. Menegakkan badannya, lalu mengusap pipinya yang sudah basah. Setelah itu kembali menyender di bahu Rio.

Rio masih diam, ia masih menunggu kelanjutan dari cerita Zino.

"Gue dari kecil gak pernah dapat kasih sayang dari Mama gue. Bahkan, beberapa kali gue disiksa sama mama, mama juga dengan tega ngurung gue di gudang yang pengap satu harian tanpa dikasih makan, Yo. Lo tau, Yo? Gue cuma bisa mohon sama Mama. Gue mohon gue nangis-nangis biar mama ngasi gue makanan karna gue udah kelaparan banget pas itu. Kalo gak salah itu pas gue masih umur delapan tahun..."

"...Gue juga pernah dijual ke orang yang gue sendiri gak kenal, sama mama. Tapi untung aja Papa gue tau dan langsung beli gue balik dari orang itu. Gue kadang iri, Yo, sama anak tiri mama gue. Dia yang gak punya hubungan darah sedikitpun sama Mama bisa dapetin kasih sayang Mama tanpa perlu usaha. Sedangkan gue? Gue udah nyoba segala hal. Tapi tetap aja, gue gak akan bisa dapat kasih sayang dari Mama..."

"...Keluarga Mama juga gak ada yang nerima gue sama Papa gue cuma karna Papa gue cuma seorang supir taksi. Gue udah beberapa kali nanya sama Papa. 'Kenapa Papa gak cerai aja sama Mama?' tapi Papa gue malah bilang 'karena Papa cinta sama Mama. Papa yakin pasti Mama bakal berubah dan sayang sama kita' gue yang pas itu gak ngerti cuma ngantuk-ngangguk doang..."

"...Tapi sekarang, gue cuma bisa ketawa miris pas ingat kalimat itu. Berubah? Bukannya berubah, Mama bahkan lebih melunjak dari sebelumnya. Mama bahkan menikah lagi tepat dihari pemakaman Papa. So, salah gak sih, Yo, kalo gue benci banget sama Mama gue?"

Zino kembali duduk tegak, ia menatap Rio dengan pandangan bertanya yang menuntut.

"Gue tanya sama lo, Yo? Salah gak sih gue benci banget sama dia yang sialnya lagi dia itu Mama gue?"

Rio masih diam, menatap mata sendu Zino yang kini sudah membengkak karena menangis.

"Lo boleh benci sama Mama lo. Tapi lo harus ingat, gimanapun dia, dia tetap mama lo. Dia tetap wanita yang melahirkan lo. Gimanapun sikapnya sama lo, dia tetap mama lo. Karena, tak ada sejarahnya kata 'mantan Mama' di dunia ini. Kalopun lo mau mutusin hubungan lo sama Mama lo. Lo tetap anaknya, begitupun dia yang akan tetap menjadi Mama lo."

Zino menunduk, meremat tangannya dengan kuat. Dengan replek, Rio menarik tubuh Zino dan membawanya kepelukannya.

"Lo boleh teriak sekarang. Luapkan masalah lo dari teriakan lo. Mumpung disini gak ada orang lain selain kita."

Rio melepaskan pelukannya dan menatap Zino lembut. Ia tersenyum manis untuk meyakinkan Zino. Zino mengangguk dan mulai berteriak.

"ZINO BENCI SAMA MAMA!"

"TAPI ZINO RASA SAYANG ZINO LEBIH BESAR DARI RASA BENCI ZINO!"

"MAMA!"

"TOLONG! KALI INI AJA! TUNJUKKAN KASIH SAYANG MAMA UNTUK ZINO!"

"GUE BENCI LO NIO!"

"LO MUNAFIK KAYAK ANJING!"

"GUE MUAK SAMA DUNIA!"

"MAMA! ZINO MAU MATI AJA RASANYA!"

Rio masih diam, ia akan menunggu beberapa saat untuk memastikan kalau Zino sudah selesai berteriak. Lima menit ia menunggu, dan sudah tidak ada tanda-tanda Zino akan berteriak lagi.

"Udah ngerasa lebih baik?" tanya Rio begitu melihat Zino yang sepertinya sudah tak memiliki niat untuk kembali berteriak.

Zino mengangguk. Untuk ketiga kalinya, Zino kembali menyenderkan kepalanya di bahu Rio.

"Lo tau, Yo? Gue kadang iri sama lo. Gue iri kenapa keluarga gue gak sekaya keluarga lo. Bahkan, beberapa kali gue mikir. Andai papa sekaya Om Adam, keluarga Mama gak bakal sepele sama Papa. Andai kakek nenek gue sekarang Oma Opa lo, mungkin Mama pasti akan berubah. Lo tau, bukan? Kakek nenek gue cuma bukan pengusaha kayak Oma Opa lo..."

"...Mereka cuma punya satu rumah makan untuk kehidupan kami sehari-hari. Dan untung aja, rumah makan milik kakek nenek lumayan besar jadi masih bisa untuk mengimbangi gaya hidup kalian..."

"...Makanya kadang, gue bawa beberapa buku pelajaran pas kita kumpul. Jadi gue masih bisa belajar walau cuma dikit..."

"Berandai-andai gak akan ngubah situasi sekarang, No. Kalo lo terus berandai-andai, yang ada lo malah makin terpuruk. Lo tau keluarga lo hidup pas-pas'an, jadi tugas lo sebagai penerus ya rajin belajar biar lo bisa buktikan kalo bisa buat bangga kakek nenek lo. Biar lo bisa bungkam mulut busuk mama lo. Jangan nyerah ya? Tetap semangat jalani semua..."

"...Lo boleh cape, tapi jangan nyerah. Kalo pun lo nyerah, lo harus buat impian baru yang lebih besar dari impian lo sebelumnya. Okey?" 

-T B C-

1 Tahun Bersama Papa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang