30

10.1K 1K 22
                                    

H a p p y 💫 R e a d i n g

Setelah makan malam tadi selesai, Rio langsung berjalan menuju kamar Adam. Ia sudah tak sabar ingin membahas apa yang sedari tadi ia pikirkan.

Begitu sampai di depan pintu kamar Adam, Rio mengangkat tangannya ingin mengetuk pintu. Namun, aktifitasnya terhenti karena pintu yang sudah lebih dulu di buka dari dalam.

"Kenapa, sayang?" tanya Adam dengan bingung.

Rio melihat ke kiri dan ke kanan, lalu mendorong Adam masuk ke kamarnya. Menutup pintu dengan pelan dan berbalik.

"Pa," panggil Rio pelan.

Jujur, ia masih canggung memanggil Adam dengan panggilan 'papa'. Namun, demi seseorang yang lebih membutuhkan, Rio rela, kok. Serius.

"Kenapa?" tanya Adam masih bingung.

Rio mulai menceritakan pembicaraan dirinya dengan Anton tadi. Adam menyimak cerita Rio denan seksama, dengan sesekali menganggukkan kepalanya.

"Nah, jadi gitu. Gimana kalo Papa kuliahkan aja tu Mas Anton. Kan uang papa banyak, sesekali kek sedekah sama yang membutuhkan dari pada sedekah sama orang-orang yang sukanya jadi penjilat."

Adam menyatukan alisnya bingung mendengar kalimat terakhir sang pugra.

"Maksud kamu?"

"Gak ada, cuma ngasal."

Rio berjalan menuju kasur Adam, dan berbaring disana.

"Bisakan, Pa? Tadi juga Papa udah janji bakal turutin apa mauku. Lagian tu ya, kan Mas Anton bisa tu bantu-bantu ngurus apartemen."

Adam berpikir sebentar, lalu mengangguk.

"Nanti Papa bicarakan sama Nenek."

Rio mengangguk, lalu memiringkan tubuhnya dan memeluk guling yang berada di kasur itu. Memejamkan matanya untuk mulai masuk ke alam mimpi.

"Tidur bareng?" tanya Adam begitu melihat Rio yang memejamkan matanya.

"Serah." Jawab Rio tanpa membuka matanya.

💫💫💫

Setelah satu minggu berada di desa Anyelir, kini Adam dan Rio sudah kembali ke kota. Dengan Anton yang juga ikut bersama mereka.

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya mereka semua setuju kalau Anton akan ikut ke kota bersama mereka. Anton sendiri, saat pertama kali tau kalau Adam akan mendaftarkannya ke universitas terkenal di Jakarta sempat menolak dengan alasan tak mau merepotkan. Tapi, berkat bujukan maut Rio, akhirnya Anton mau.

Dan pagi ini, apartemen sangat ramai akan teriakan Adam dan Rio yang bersautan. Membuat Anton hanya tersenyum maklum dengan mengelus dada sabar.

"KAOS KAKIKU DIMANA?!"

"CARI YANG BENAR, PRINCE!"

"KOK KEMEJANYA BELUM DI SETRIKA?!"

"YA SETRIKA SENDIRI! UDAH BESARKAN?!"

"OH TIDAKKK! AKU BELUM NGERJAIN TUGAS KIMIA!"

"YA KERJAIN SEKARANG!"

"MATA LO KERJAIN SEKARANG! GAK SEMPAT, ADAAM!"

"YANG SOPAN, HEH!"

"POKOKNYA AKU GAK SEKOLAH!"

"GAK USAH KAYAK ANAK TK, PRINCE! NANTI PAPAA YANG BILANG KE GURUNYA KALO KITA BARU SAMPAI TADI JAM LIMA! BIAR KAMU GAK DI HUKUM!"

"OKE, DEAL!"

Anton mengelus kupingnya yang sudah pegang karena teriakan menggelegar mereka. Syukur saja apartemen mereka kedap suara hingga tak akanendapatkan komplen dari para tetangga.

Tak lama, Rio keluar dengan raut wajah kusut. Sama seperti bajunya yang juga kusut karena tak di setrika.

"Buset, baju sama muka gak ada bedanya. Sama-sama, kusut." ejek Adam.

"Setrikanya dimana? Sini biar mas setrika'kan." tawar Anton.

Rio yang mendengar itu ketika menatap Anton dengan binar. Membuka kemeja putihnya lalu memberikan pada Anton, hingga kini ia hanya memakai kaos berwarna hitam.

"Emang kamu gak ada kelas, mas?" tanya Adam.

Adam datang dari dapur dengan menenteng sebuah piring berisikan banyak sekali nasi goreng. Nasi goreng yang akan mereka makan untuk sarapan.

"Siang nanti, Pak. Sekitar jam dua. Jadi masih banyak waktu untuk beres-beres."

"Itu di ruangan samping kamarmu itu ruangan untuk nyetrika, mas. Disana kalo mau nyetrika."

"Makasi, pak." Anton berjalan menuju ruangan pojok di samping kamarnya untuk menyetrika baju Rio.

Adam mengangguk, menaruh piring berisi nasi goreng itu di meja, lalu memindahkannya ke piring yang lebih kecil.

Memberikan piring yang sudah diisi nasi goreng iti pada Rio yang kini fokus pada ponselnya.

"Lain kali, setrika baju sendiri. Jangan malah nunggu di setrika'kan, Mas Anton. Kasian dia, dia juga banyak kerjaannya. Jangan mentang-mengang dia kuliah Papa yang bayarkan, dia bisa jadi babu kamu. Paham?" jelas Adam pelan.

Rio mengangguk, lalu memakan sarapannya dengan santai. Bertepatan dengan Anton yang datang dengan membawa kemeja Rio yang sudah rapi.

Rio menaruh kemeja itu pada bahu Rio lalu duduk di samping Rio.

"Nih makan, mas." Adam menyerahkan satu piring nasi goreng pada Anton.

"Makasi, pak."

Adam mengangguk lalu memakan nasi goreng miliknya dengan lahap. Mereka sarapan dengan suasana hening karena fokus pada makanan masing-masing.

-t b c-

1 Tahun Bersama Papa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang