46

7.3K 883 125
                                    

H a p p y 💫 R e a d i n g

"Om Adam!"

Adam menghentikan langkahnya, berbalik dan menatap malas ke arah pemuda yang kini sedang menyengir kuda.

"Kenapa lagi? Bukanya urusan kita sudah selesai?" tanya Adam malas pada Nio.

Yup, pemuda itu adalah Nio.

Disaat Zino, Aldo, dan Adam sedang berdebat, Nio dengan diam-diam pergi dadi cafe melalui pintu belakang. Lalu mengejar Adam begitu melihat pria empat puluh tahun itu begitu melihat Adam keluar dari cafe.

Cukup cerdik.

"Kan Nio udah bilang kalo Nio bakal bantuin Om Adam sama Orang tuanya Kak Deon. Yaudah ayo kita pergi ke lokasi. Om Adam menghubungi para bawahan Om Adam pas dalan perjalanan aja. Biar kita makin cepat nyampe!"

Tanpa mendengarkan perkataan Adam, Nio berbalik menatap kedua orang tua Deon.

"Om sama tante juga gitu. Biar kita makin gampang kalo misalnya mereka ngelarang."

Nio degan santai berlari menuju mobil Adam yang berada berada tak jauh dari tempat mereka berada. Duduk di bangku deoan samping bangku pengemudi.

"Om, tante cepat! Nanti mereka luan nyampe di lokasi!" teriak Nio kuat menyadarkan ketiga paruh baya itu, ups!

💫💫💫

"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Adam.

Mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu memusatkan pandangannya pada bangunan tua di depannya.

Bangunan yang mungkin sudah sangat lama di tinggal oleh pemiliknya, melihat sudah banyaknya rumput-rumput yang memanjang.

Rumah yang sangat besar dan mewah, mungkin ini berlantai lima.

Adam mendongak, melihat ke atap rumah tersebut.

'Kalo jatuh langsung mati nih." batin Adam berkata.

"Iya, Om! Om, Om, sama tante lebih baik nunggu disini dulu sampe semua orang suruhan kalian nyampe. Nio masuk dulu!"

Adam menoleh ke arah Nio begitu pemuda itu membuka suara.

"Dasar bocah sableng! Kalo aja ini bukan keselamatan Rio, ogah banget ngikutin perintah dia." Adam berdecih malas.

Nio berlari memasuki gedung tua itu dengan sebuah ransel di bahunya. Meninggalkan ketiga orang lain yang hanya diam menunggu di luar.

"Sebelum Nio teriak, Om sama yang lainnya jangan bergerak dulu!" Teriak Nio yang belum masuk terlalu dalam di rumah tua itu.

Nio berlari menaiki tangga dengan terburu-buru, mengilap keringat yang mengalir deras di pelipisnya. Dengan sesekali mengumpat karena betapa besarnya rumah tua ini.

Sesampainya di lantai dua, Nio menelusuri lorong-lorong lantai dua dengan membuka semua ruangan yang berada di lantai dua.

Semua ruangan yang berjumlah delapan ruangan sudah Nio periksa semua. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan Rio dan Deon.

Begitu melihat tangga, Nio kembali berlari menaiki tangga menuju lantai tiga. Dua ansk tangga sekali ia pijak untuk mempercepat langkahnya.

Kembali menelurusi lorong yang berada di lantai tiga dengan nafas yang tersenggal-senggal.

"Kenapa ruangannya malah makin banyak sih anjing!" umpat Nio kesal.

Jika lantai dua berisi delapan ruangan, maka lantai tiga berisi sebelas ruangan.

Nio menunpukan kedua tangannya di lutut, menatap ke arah satu ruangan lagi yang belum ia periksa.

"Moga aja disana!" doa Nio dengan atas yang masih tersenggal.

"Mana nih tas berat banget anjir! Eh tapi salah gue sendiri. Kenapa malah bawa tiga aq*a nya. Mana yang satu liter lagi."

Nio menghela nafas kesal, membuka pintu dengan pelan. Menyembulkan kepalanya guna melihat apa yang ada di dalam.

Deon dan Rio yang menyadari ada seseorang yang datang pun mendongak untuk melihat siapa yang datang.

Nio yang melihat itu dengan cepat membuka pintu dengan kencang, masuk ke dalam ruangan dengan terburu-buru. Lalu terduduk di depan kedua orang yang kini menatap dirinya dengan tatapan kosong.

Membuka ransel yang ia bawa lalu mengeluarkan dua bungkus roti dan juga tiga botol aq*a dari ranselnya.

Membuka tutup aq*a, lalu membantu Rio untuk minum. Rio meminum air yang diberi Nio dengan terburu-buru.

"Santai elah, kak."

Menghiraukan perkataan Nio, Rio terus meneguk air itu dengan terburu-buru. Hingga membuat ia terbatuk-batuk.

Dengan telaten, Nio membantu Rio dengan menepuk-nepuk pelan pundak Rio.

Setelah itu memberikan minum itu pada Deon juga dengan ia bantu. Sama halnya yang dilakukan Rio, Deon juga meminum air yang diberi oleh Nio dengan terburu-buru.

Selesai memberi bantuan pada dua pemuda yang sedang diambang kematian itu, Nio berjalan dan mengambil roti yang ia keluarkan tadi.

Membuka bungkus roti lalu menyodorkannya pada Deon.

"Kalo tangan gue gak di rantai, gue udah dari kemarin nyoba kabur, Ni."

Nio menyengir kuda. Membuat Deon yang sudah memiliki tenaga walau hanya sedikit memutar bola matanya malas. Walau dalam hati ingin berkata terima kasih pada Nio yang sudah menyelamatkan mereka.

"Sorry," ucap Rio pelan.

Ucapan Rio barusan mampu membuat Nio dan Deon mengalihkan perhatian mereka.

Menatap Rio yang kini sudah menundukkan kepalanya menyesal.

"Santai elah, kak. Ini juga bukan sepenuhnya salah kalian kok. Mereka aja yang kek setan!" kesal Nio.

Prok...

prok...

Prok....

"Sungguh mengharukan sekali bestih."

-t b c-

1 Tahun Bersama Papa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang