52

5K 348 9
                                        

Masih flashback...

"Kakak titip Rio bentar ya, Na. Maaf banget repotin kamu sama Adam malam-malam gini. Tapi Rio gak ada yang jaga, Mama juga lagi di luar kota sama Papa. Kakak gak percaya sama babysister gitu. Tenang aja, Rio gak bakal rewel kok. Kakak juga udah ngasi dia asi, dan juga pasti bentar lagi tidur."

Nita menatap ke arah adik iparnya itu tak enak. Membuat Rina hanya tertawa sambil menggendong Rio kecil yang saat ini sudah tertidur.

"Gak papa kali, kak. Sekalian belajar jaga anak biar nanti pas lahiran gak kaget banget."

Nita mengalihkan pandangannya pada perut adik iparnya itu. Benar juga, sekalian belajar ngurus anak bukan?

"Kapan lahiran, Na?"

"Kalo nggak salah sih dua bulan lagi, kak."

"Ih, jaga diri baik-baik ya, Na. Biar si dedek baik-baik aja." Tangan Nita terulur mengelus perut buncit Rina.

"Iya, kak, aman."

"Kakak pergi ya?"

Mencium sebentar pipu gembung sang anak, Rina langsung berjalan debgan sedikit cepat ke mobil dimana suaminya berada.

"Mari, Na!"

Bersamaan dengan itu, klakson mobil berbunyi, Nita dan David pun pergi meninggalkan pekarangan rumah Adam dan Rina.

"Rio nginap disini?" tanya Adam yang entah kapan sudah berada di belakang Rina.

Memeluk tubuh sang istri yang kini sedang menggendong Rio kecil.

"Enggak, paling sejam lagi Rionya di jemput. Mana bisa Kak David kalo anaknya gak ada di rumah, yang ada nggak bisa tidur nyenyak tu kakak ipar kamu. Apalagi Kak Nita, beuh, langsung deh di jemput dia walaupun udah jam berapa." Adam terkekeh pelan mendengar perkataan istrinya itu.

"Nanti kita juga gitu, bahkan mungkin lebih parah lagi." Rina mengangguk menyetujui perkataan Adam.

"Iya sih, lagian orang tua mana yang tetap tenang sementara anaknya entah lagi apa. Walaupun sama saudara sendiri."

Mengelus pelan lengan sang suami yang memeluk perut buncitnya itu. Lalu menoleh ke arah Rio kecil saat menyadari bahwa bayi itu bergerak.

"Mas harap nanti anak kita semenggemaskan Rio."

"Aamiin. Masuk yuk, udah malam gak baik angin malam untuk Rio."

Memasuki rumah dengan masih berpelukan, hingga membuat Rina kesal. Namun tak diperdulikan oleh Adam.

Sudah kepalang kesal, Rina pun memukul pelan lengan suaminya itu. "Awas, is!"

"Bentar aja, sayang." Dan benar saja, Adam langsung melepaskan pelukannya dari Rina.

Mengambil Rio yang sudah tertidur lelap untuk meletakkanya di kamar mereka. Sementara, Rina menunggu di depan televisi karena akan nanggung jika harus ke kamar mereka yang berada di lantai dua sementara mereka harus menunggu orang tua dari si kecil Rio yang akan menjemput si kecil satu jam lagi.

Menghidupkan televisi untuk menemani mereka yang bergadang, Rina duduk dengan tenang sambil menunggu Adam turun.

Adam turun dari lantai dua dengan selimut tebal di tangannya. Dudim tepat di samping sang istri dan menyelimuti mereka berdua.

Adam dan Rina mengira, jika David dan Nita akan menjemput Rio dalam waktu satu jam. Namun, saat mereka menunggu kehadiran sang kakak dan juga sang kakak ipar hingga larut malam.

Sepasang suami-istri itu tak juga datang untuk menjemput Rio.

"Kok Rio belum di jemput juga, ya, Mas?" tanya Rina sambil melihat jam.

Pukul 22:45 WIB, sudah lebih Empat puluh lima menit dan kedua kakak iparnya itu belum juga datang.

"Mungkin mereka kecapean, udah lebih baik kita tidur. Nggak baik uduk anak kita." memilih mencoba positif, keduanya pun berjalan menuju kamar dimana Rio kecil yang sudah tertidur lelap.

Sampai keesokan harinya, David dan Nita juga tak kunjung memberi kabar.

Membuat Rina merasa khawatir karena memang perasaannya sejak tadi malam sudah sangat tidak enak. Namun, Adam selalu berhasil membuat Rina tenang, karena mungkin tidak akan baik untuk kandungan Rina.

Sampai pada akhirnya, saat Rina sedang menyuapi Rio makan. Adam mendapatkan telepon dari sang Mama.

"Halo, ma?"

"Dam hiks, ka-kakak m-mu, D-dam. Ka-kakakmu ta-tadi malam ke-kecelakaan. Me-mereka me-meninggal di tempat. Cepat kesini, Dam. Tinggal kamu yang belum hadir, maaf karna ma-ma telat nga-ngasi kamu ka-kabar, hiks.”

Bagai disambar petir di pagi cerah. Adam tak lagi dapat menahan bobot tubuhnya hingga ia terduduk lemas sambil menatap ke depan.

Seolah mengerti apa yang terjadi pada orang tuanya, Rio kecil pun menangis dengan sangat kencang.

"Huaaaaa!"

Hingga membuat Rina dan Adam kelimpungan karena tangisannya.

"Oh, sayang. Cup cup cup, Mommy sama Daddy pasti baik-baik aja. Itu pasti cuma bohongan, sayang." menepuk-nepuk pelan bokong Rio berharap bayi satu tahun itu berhenti menangis.

"Kita pergi ke rumah mama sekarang." mengambil Rio kecil dari gendongan sang istri.

Adam dengan cepat membawa Rina dan Rio kecil ke rumah sang mama.

Selama di perjalanan, Adam tak bisa untuk tetap tenang, rasa panik serta khawatir karena Rio yang tak juga kunjung berhenti menangis semakin membuat Adam pusing.

Sesampanya di rumah sang Mama, ternyata sudah ramai di datangi oleh pelayat lainnya.

Dengan cepat, mereka keluar dari mobil. Berjalan dengan sedikit tergesa memasuki rumah berharap jika kabar tadi hanyalah bohongan belaka.

Harapan hanyalah menjadi harapan, karena saat mereka masuk ke dalam rumah. Terlihatlah Mama, Papa, Sinta, juga Juan, yang kini menangis mengelilingi dua orang yang terbujur kaku dan terselimuti kain putih dari kepala hingga kaki.

Juga terdapat orang tua dari kakak iparnya yang kini menangis di samping sang putra yang kini sudah menjadi mayat.

Sintia yang menyadari bahwa Adam telah sampai pun menghampiri pria itu. Memeluk erat tubuh pria itu sambil menumpahkan segala isak tangisnya.

"Kenapa kak Nita perginya cepat banget, kak Adam!" tangis Sintia sambil memeluk Adam semakin erat.

Begitu pula dengan Rina yang kini sudah tak dapat lagi menahan bobot tubuhnya.

Untung saja, Juan dengan cepat mengambil Rio dari gendongan wanita hamil itu sebelum wanita hamil itu hampir oleng dan untung saja, salah seorang pelayat sempat menangkap tubuh berisi Rina.

Isak tangis tak lagi dapat terbendung oleh Rina. Apa lagi saat melihat Rio kecil yang memberontak dengan terus menangis di gendongan Juan.

Pandangan itulah yang menjadi penglihatan terakhirnya sebelum kesadaran mulai merenggutnya.

-t b c-

1 Tahun Bersama Papa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang