31

9.3K 1.2K 80
                                    

H a p p y 💫 R e a d i n g

Mobil berhenti di depan SMA Merpati, Rio dan Adam keluar bersama-sama.

"Gak usah temui gurunya deh. Gak pa-papa, aku bisa sendiri. Gak akan dihukum, juga."

Rio berjalan meninggalkan Adam yang kini mengikuti dirinya.

"Lah, siapa bilang mau nemuin gurumu? Orang Papa hari ini mau ketemu kepala sekolah kok."

Adam merangkul Rio santai yang kini wajahnga sudah mereka padam karena malu sudah kege'eran. Melepaskan rangkulan Adam kasar lalu berjalan sedikit lebih cepat.

Plak...

Baru beberapa langkah Rio melangkah, sebuah tamparan yang ia sendiri tak tau apa salah mendarat mulus di pipinya. Rio berhenti melangkah, begitu pula dengan Adam, mereka berdua terdiam dengan pandangan linglung.

"Bu, tolong jangan kayak gini. Kita disini belum tau siapa yang bersalah. Mari kita selesaikan ini secara baik-baik, bu. Dan juga, tolong kita ke ruangan saya karena saya tak ingin menganggu siswa lainnya." Kepala sekolah bersama Bu Reva dan Bu Sisil yang sedari tadi mencoba menenangkan wanita itu.

"Gak bisa! Enak aja di selesaikan baik-baik. Mentang-mentang dia anak orang kaya jadi saya harus memakluminya begitu? Hei! Kita ini sama-sama manusia. Enak saja, dia bisa membully anak saya. Tapi kenapa dia gak bisa bertanggung jawab sama tingkah lakunya?"

Seluruh pandangan siswa-siswi yang berada di sana sangat heran menatap kejadian di depan mereka. Lalu, pandangan mereka tertuju pada satu pemuda yang kini sudah menangis dengan wajah babak belur.

Seketika mereka mengerti dengan apa yang terjadi. Banyak dari mereka yang mulai berbisik-bisik membicarakan Rio. Tapi tidak dengan anak 12 MIPA2 yang kini menatap Nio bingung.

"Sebenarnya ada apa ya, bu?" tanya Adam yang sudah tersadar dari lamunannya.

"Kamu siapa?" tanya wanita itu sinis.

Adam tersenyum tipis, walau dalam hati ia sudah geram ingin mencincang wanita di depannya itu.

"Saya ayah dari anan yang ibu tampar."

Wanita itu semakin murka, ia menunjuk Adam dengan wajah marahnya.

"Oh kamu ayah dari anak ini? Tolong ya, pak! Tolong bilang sama istri bapak supaya mendidik anak bapak dengan benar! Jangan cuma bisa bully anak yang gak tau apa-apa doang! Emang bapak sama istri bapak gak bisa ngajarin anak biar jadi anak baik? Kalo gitu gak usah punya anak aja pak sekalian."

Tangan Adam dan Rio terkepal dengan kuat mendengar ucapan menghina wanita itu. Terutama Rio yang sudah berkaca-kaca karena mengingat bahwa ia saja tak pernah melihat ibunya.

Suasana seketika berubah menjadi hening. Para guru kini saling lirik dengan canggung, bahkan para siswa-siswi yang tadinya bergosip dengan berbisik juga seketika terdiam.

Begitu pula dengan ketiga teman Rio yang kini menatap wanita itu dengan kaget.

"Mohon maaf sebelumnya, bu. Tapi istri saya sudah meninggal saat melahirkan anak saya." Adam tersenyum paksa.

Wanita itu berdecih kesal mendengar ucapan Adam.

"Pantes gak tau etika. Gak punya mama pula, cih, gak bakal sukses itu mah. Bahkan mungkin mamanya malu melahirkan dia."

Tatapan Adam seketika berubah menjadi tajam mendengar ucapan wanita itu. Ia sedari tadi sudah menahan diri agar tak menghajar wanita itu. Tapi kenapa wanita itu malah semakin menjadi-jadi.

Bahkan, rasa geram Adam semakin menjadi saat melihat bibir Rio yang bergetar mendengar ibunya di hina.

"Anda bisa menghina saya sesuka hati anda. Tapi jangan pernah menghina anak dan istri saya!"

Wanita itu kembali berdecih.

"Tolong ya, pak. Anaknya tu diajari. Jangan karna gak punya mama malah jadi gak punya etika. Saya selama satu minggu ini diam melihat anak saya pulang dengan babak belur karna di bully anak bapak. Coba, pak. Gimana perasaan bapak ngeliat anak bapak pulang dengan babak belur!"

Adam menyatukan alisnya bingung, melirik ke Rio yang kini juga melirik dirinya dengan mata berkaca-kaca.

Sedetik kemudian, Adam terkekeh sinis.

"Sepertinya Ibu deh yang tidak memiliki etika. Menuduh anak saya tanpa bukti. Saya bisa loh melaporkan ibu atas tuduhan pencemaran nama baik."

"Saya menuduh anak bapak? Loh, pak. Jangan belain anaknya terus dong! Jangan mentang-mentang dia anak bapak jadi bapak belain dia! Anak saya loh pak korbannya."

Adam tersenyum paksa.

"Begini, bu. Saya ingin bertanya sama Ibu. Gimana caranya anak saya membully anak ibu seminggu ini, dimana dia bahkan tidak pergi ke sekolah seminggu ini karena pergi ke desa neneknya? Masa iya anak saya membelah diri. Maaf, bu. Anak saya bukan naruto. Kalau ibu tidak percaya, ibu bisa tanya sama kepala sekolah dan para guru kalau saya yang meminta izin pada mereka kalau anak saya tidak dapan hadir selama seminggu."

Kepala sekolah dan para guru mengangguk serentak. Bahkan kepala sekolah sudah menoleh nafas yang entah keberapa kali melihat tingkah wanita di depannya.

"Benar, bu. Bukanoah tadi kami sudah mengatakannya pada, ibu?" tanya Bu Reva jengah.

Pandangan Adam kini teralihkan pada Nio yang sudah bergetar ketakutan.

"Awalnya saya sangat senang dengan kamu, Nio. Kamu yang sopan mampu membuat saya senang melihatmu. Tapi setelah ini, saya jadi kurang yakin jika saya tidak jijik terhadap kamu."

Pandangan Adam bergulir ke kepala sekolah.

"Mohon maaf atas kekacauannya, pak. Kalau begitu saya izin pergi membawa Rio karena saya tak ingin untuk Rio berada di sekolah hari ini."

"Oh iya, silahkan, Pak. Sekali lagi kami meminta maaf karena mengangu waktu bapak."

Adam mengangguk, menarik tangan Rio dan membawanya masuk ke mobil.

-t b c-
 


1 Tahun Bersama Papa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang