H a p p y 💫 R e a d i n g
Seperginya dari Cafe, Adam memilih langsung pulang ke apartemen. Dengan Bian yang masih sentiasa berada di sampignya. Bukan karena mau nemenin Adam, tapi karena lagi perang dingin sama istrinya jadi gak mau pulang dulu ke rumah.
Sesampainya di apartemen, ternyata Deon dan Aldo lagi ada di apartemen dan bermain game bareng Rio.
Adam dan Bian melangkahkan kaki mereka menuru ruang tamu dimana ketiga pemuda itu berada.
"Hei, boy," sapa Adam dan Bian serentak.
"Halo, om," sapa kepada pemuda itu balik juga dengan serentak.
"Coba dimatiin dulu gamenya. Ada yang mau om bicarain."
Ketiganya dengan kompak mempause kan game mereka dan menatap Adam bingung. Adam yang melihat tatapan ketiga pemuda itu gemas sendiri jadinya.
Bagaimana tidak?
Ketiga pemuda itu menaruh ponsel mereka asal dan menatap Adam dengan tatapan polos penuh keingin tahuannya."Em, gimana ya." Adam menjeda ucapannya.
Membuat ketiga pemuda itu menatap Adam dengan kesal.
"Jadi gini. Lain kali, kalo kalian lagi kumpul berempat. Kalo bisa bawa pacar masing-masing, ya? Atau gebetan juga boleh. Yang penting, cewek! bisa gak?" tanya Adam dengan menekan kata cewek.
"Emang kenapa, om?" tanya Deon bingung.
"Ya gak papa, loh. Emang ada masalah kalo kumpul bawa pasangan masing-masing?"
Kali ini bukan Adam yang menjawab, melainkan Bian yang entah kapan sudah duduk anteng di lantai yang berlapisi karpet sambil memakan snack yang berada di meja.
Mereka mengangguk.
"Betewe, kalian sadar gak, sih?" tanya Aldo tiba-tiba.
Membuat semua atensi langsung tertuju pada dirinya.
"Kalo kita gak ada yang pernah pacaran?" tanya Rio menyambung pertanyaan Aldo.
Ketiganya kompak mslompat menjaga jarak satu sama lain. Menunjuk ke arah orang yang berada di sampingnya dengan tatapan horor.
"LO BERDUA KAGAK HOMO KAN?" tanya mereka serentak bak paduan suara.
"YA KAGAK LAH, ANJIR. GUE MASIH NORMAL YA, BANGSAT!" teriak mereka kembali secara serentak yang entah untuk ke berapa kali.
"BERENTI NGIKUTIN GUE!"
"GUE GAK NGIKUTIN LO BERDUA, YA!"
"STOP IT, BANGKE!"
"DAH LAH, CAPE."
"PFFFFTTTT, BUAHAHAHAHA."
Pada akhirnya, mereka bertiga tertawa menyadari kebodohan yang mereka lakukan tadi. Mereka bertiga secara kompak tergeletak tak berdaya di lantai dengan memegangi perut mereka masing-masing sambil terus tertawa.
Sementara Adam dan Bian hanya bisa menggeleng miris melihat tingkah tak waras dari tiga pemuda di depan mereka.
"Kasian ya negara punya pemuda kayak mereka." miris Bian.
"Ye si om mah gak ngerti gimana ngakaknya cuma karna kompak terus." Balas Deon masih dengan terlentang.
"Gak ada yang lucu, padahal. Kalian aja yang gila."
Ketiga pemuda itu kembali kompak duduk dan menatap Adam horor.
"Bener. Bye the way, si Zino mana?" tanya Bian pura-pura tak tau.
"Gak ikut, katanya tadi mau jumpai si ulat bulu." sinis Aldo.
Adam dan Bian kompak menyatukan alis mereka bingung.
"Siapa ulat bulu?" tanya Adam bingung.
"Ituloh, Om. Yang nampar Rio di sekolah. Mamanya Zino."
"Loh, itu mamanya Zino? Bukannya mamanya Nio, ya?" tanya Adam kaget.
"Ho-oh mama Zino. Katanya sih itu Mama kandungnya Zino. Tapi Mamanya selingkuh dan pas Papanya Sini meninggal. Mamanya nikah lagi sam Papanya Nio. Zino juga katanya emang gak pernah dapet kasih sayang mamanya."
Adam menatap bingung putranya yang mengetahui banyak hal tentang Zino. Begitu pula dengan ketiga orang lainnya yang menatap Rio bingung.
"Kok lo tau?" tanya Deon curiga.
"Dia pernah cerita sama gue. Pas pertama kali Nio gabung."
Mereka mengangguk serentak. Adam dan Bian saling lirik satu sama lain. Membuat ketiga pemuda itu seketika menatap Adam dan Bian menjadi curiga.
"Kalian gak belok kan?" tanya ketiganya kompak.
Seketika, Adam yang sedang meminum airnya pun tersedak. Ia menatap Bian dengan horor dan dibalas tak kalah horor oleh Bian.
"Yakali, kami belok." keduanya kompak mengucapkan itu.
"Waah, kompak tu! Pasti belok!" teriak ketiganya.
"Yakali Om, belok. Kasian dong anak sama istri, Om kalo om belok." sanggah Bian.
"Om dah punya anak?" tanya Deon dengan tersenyum manis.
"Iya, perempuan satu. Kenapa?" Bian menatap bingung Deon yang kini semakin tersenyum lebar.
"Umur berapa, om?"
"Lima taun."
Seketika itu pula senyum lebar Deon musnah seketika. Tergantikan dengan raut murung.
"Kalian jangan sampe jadi homo, ya? Serem soalnya."
-t b c-
Gesss, maaf ya lama banget Ari up nya.
Soalnya dua hari ini ada acara di rumah. Jadinya sibuk banget, terus juga tugas udah mulai ada.
Sekali lagi maaf ya 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Tahun Bersama Papa
Teen FictionSebelum baca, follow akun Arii dulu 😗 17 tahun ia telah hidup, namun tidak pernah sekalipun ia berinteraksi dengan sang Papa. Mamanya telah meninggal saat melahirkan dirinya, semenjak itu pula kakek dan neneknya yang membesarkannya. Sedangkan, Papa...