Secret beneath Aeithein

7 2 0
                                    

"untukmu Tilia, mungkin kau dapat mencari informasi lebih lanjut mengenai tempat persembunyian mereka di Aeithein. Jika kau tidak keberatan", Maxwell menghadap ke arah Tilia. 

"ah, aku tidak keberatan, lagipula semua kejadian ini juga termasuk salahku. Maka dari itu aku juga ingin membantu kalian", balasnya. 

"baiklah kalau begitu", Maxwell membalikkan badannya dan lanjut berbicara ke arah Larry. 

Dari meja tempat pembicaraan mereka tadi, Tilia berdiri dan berjalan keluar dari rumahnya. Dari situ, ia menghadap ke sisi selatan serta melihat tembok sekitar Nocterum yang menyelimuti segala area kota ini dengan ketatnya. 

"Tilia", kata Maxwell sesaat sebelum masuk ke dalam kamar dimana Edmund dan Averie berada. 

"iya?", Tilia beralih memandang Maxwell yang ada di belakangnya. 

"berhati – hatilah. Dan kalau ada bahaya besar yang terjadi di sana, segera datang dan beritahu kita", Maxwell mengingatkan. 

Tilia tersenyum kecil. 

"jangan khawatir, aku dapat menjaga diriku dengan baik walau berada di tempat seperti itu". 

"ya, tentu saja kau bisa", balas Maxwell ikut tersenyum. 

Dari teras tempat ia berada, Tilia berjalan menuju samping kamar belakang tempat di mana Maxwell berada. Di situ ia membuka pintu kayu besar yang dipenuhi oleh debu dan serangga kecil yang menghinggapinya. 

Tepat setelah pintu terbuka, sebuah tas berukuran sedang terjatuh ke bawah lantai dengan diikuti dengan sebuah pisau kecil dan beberapa alat lainnya. Tilia mengambil tas berukuran sedang tersebut lalu menggosok debu yang ada dengan tangannya. 

"tas lamamu ya?", tanya Larry dari belakang. 

"iya, ini adalah tas yang dulu aku gunakan untuk datang kesini. Tapi sejak berada di Nocterum, aku tidak terlalu membutuhkannya dibandingkan dengan peralatan lain yang lebih mudah dibawa di dalam kantong", Tilia menjelaskan. 

"tapi bagaimana membawa tas itu dapat membantumu untuk mencari Edzard?", Larry mengamati ukuran dan bentuk tas itu. 

"dalam segi penyamaran dan kelincahan, tas ini memang tidak akan membantu banyak. Tapi karena tujuan utamaku adalah jalan menuju Aeithein, ada lebih banyak barang yang harus kubawa", Tilia mulai memasukkan barang – barang ke dalam tas itu. 

"hmm, perkataanmu itu benar juga. Tangkap ini!", Larry melemparkan sebuah benda ke arahnya. 

"woah, apa ini?", sebuah batu merah bersinar digenggam olehnya dengan kedua tangan. 

"hanya sebuah benda yang mungkin dapat berguna dalam perjalananmu ke sana", balas Larry. 

"sebuah batu merah?", tanya Tilia bingung. 

"iya", jawab Larry singkat. 

"batu apakah ini? Rasanya juga sangat panas", Tilia menaruhnya di atas meja. 

Larry menarik sebuah kursi. 

"ada sebuah rahasia yang ingin kukatakan", Larry berbisik. 

Tilia ikut duduk di sebuah kursi dan berniat untuk mendengarkan. 

"batu yang kumiliki ini adalah sebuah batu dengan kekuatan api yang kupunya", Larry menunjuk kepada batu itu. 

 "benda ini dapat dibilang sebagai ekstensi dari kekuatan yang sudah dimiliki oleh semua orang dengan warna mata ungu. Tapi bedanya, benda ini tidak disebut sebagai senjata. Maka dari itu kau bisa memegangnya". 

"tapi bagaimana kau bisa memilikinya? Kedua warna matamu tidak berwarna ungu", Tilia mulai mempertanyakan perkataan Larry. 

"itulah rahasia yang ingin kukatakan. Warna mataku yang sesungguhnya adalah ungu. Warna kuning yang ada padaku sekarang hanyalah sebuah pewarna yang kugunakan sebagai penyamaran", jawab Larry. 

Tilia memandang Larry sesaat dengan wajah tidak yakin dan ragu. 

"bagaimana aku bisa yakin kau tidak berbohong?", Tilia masih tidak percaya dengan perkataannya. 

"sebenarnya aku tidak masalah menunjukkannya sekarang, tapi aku ingin menyisakan hal itu kepada Averie", jawabnya sedikit ragu. 

"Biar aku tebak, Maxwell juga tau mengenai hal ini?". 

"tentu saja. Dia tau akan segalanya", kata Larry singkat. 

Tilia menghela napasnya. 

"sangatlah berbahaya bagimu untuk pergi dan menyelamatkan Edzard sendirian. Karena kita berdua tidak dapat pergi bersamamu, bawalah batu api itu yang dapat membantumu untuk menghindari berbagai musuh yang dapat kau temui di sana", Larry berhenti berbisik. 

"baiklah, aku mengerti, tapi bagaimana dengan kekuatan apimu pada batu merah ini?", Tilia menghadap pada Larry. 

"kemampuan dari mata ungu tidak dibatasi hanya dengan sebuah batu. Semua orang dengan warna mata ini memiliki kekuatan yang cukup kuat. Batu yang kupunya ini hanyalah sebuah benda yang kugunakan dalam situasi yang darurat. Dan soal Averie, jangan khawatir, aku memiliki satu batu merah buatan yang terlihat serupa dengan yang asli yang dapat kugunakan sebagai petunjuk baginya jika dibutuhkan". 

"apa semua hal ini kau rencanakan?", Tilia memasukkan batu itu ke dalam tasnya. 

"mungkin saja", Larry berbalik masuk ke dalam kamar di belakangnya. 

(–) 

Hari sudah berubah menjadi siang. Sinar matahari yang tadinya berada di tengah – tengah langit, kini telah diam di atas kepala Tilia. Segala barang yang harus ia bawa kini dirangkul pada pundaknya selagi ia beranjak pergi keluar dari rumah. Walaupun siang hari bukanlah waktu yang tepat baginya untuk pergi dari Nocterum, ia dan yang lainnya tidak ingin membuang banyak waktu hingga malam. Meskipun Nocterum terlihat sungguh terang, Tilia tau bahwa apa yang terjadi di Aeithein ataupun sekitarnya tidak akan tampak sama. 

(–) 

Hampir lima ratus meter sejak ia keluar dari rumahnya, sebuah area pepohonan terlihat di depannya. Semenjak melihatnya, Tilia berhenti sejenak. Dari semua yang telah ia lihat maupun alami, area pepohonan inilah yang tidak pernah ia datangi sama sekali. 

Meskipun tempatnya yang lumayan dekat dengan rumahnya yang ada di Nocterum, segala misi atau tugas yang diberikan kepadanya, tidak banyak yang menyangkut tempat terpencil yang ia tinggali saat ini. Walaupun terdapat banyak tugas penyamaran terhadap warga ataupun prajurit milik Nocterum, segala hal itu terdapat pada tengah – tengah kota di mana mereka berada. 

"apa ini bisa berhasil?", Tilia menggeserkan kepalanya ke kiri dan kanan. 

Berdasarkan apa yang ia tahu, pintu gerbang keluar Nocterum memang berada di ujung area yang ada di depannya. Tilia menghela nafasnya. Sebagai investigator dari Aeithein, salah satu hal yang harus diperhatikan olehnya adalah untuk tidak langsung datang menuju tempat yang tidak diketahui. 

Terutama dengan area pepohonan yang sangat lebat tanpa banyaknya sinar matahari yang menembus dedaunan di atasnya. Sambil melihat keadaannya pada sekeliling, Tilia melihat beberapa orang yang berjalan dua ratus meter di depan pandangannya ditambah dengan seorang penjaga Nocterum. Sekitar enam ratus meter dari sisi timur. 

"tidak ada pilihan lain ya?". 

Dikarenakan banyaknya orang yang ada pada jalannya, Tilia pun akhirnya mengambil satu – satunya pilihan yang ia punya. Ia berjalan perlahan menuju area itu. Hari yang masih siang bukan menjadi alasan bagi pohon yang lebat ini untuk tidak memberikan sinar matahari kepadanya. Tilia berjalan dengan hati – hati menyusuri tempat itu. 

Selain rerumputan, berbagai ranting serta batang pohon juga ikut menemani heningnya tempat ini dengan suara retaknya yang halus. Setelah berjalan selama beberapa menit sekaligus beberapa pohon, sebuah cahaya yang cukup besar menarik perhatian Tilia. Semakin ia dekati, semakin terang cahaya itu tampak. Setelah ia sampai pada sumbernya itu, dilihatnya sebuah area terbuka berbentuk bulat yang berada di tengah – tengah segala pepohonan yang ada. 

Dungeon Duolist vol 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang