"perempuan itu ya?", Selvan kembali mengingat pertemuannya.
Melangkahkan kakinya pada lapangan rumput yang tertiup angin kencang, Selvan melihat jalur yang mereka pakai agar sampai pada tempat itu.
"mengapa kau ingin mengajaknya pada kelompokku ini?", tanyanya.
Mendengar perkataan itu, Alfred diam sebentar. Dalam pikirannya, ia tidak dapat memikirkan alasan nyata terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Selvan. Apa yang selama ini ia rasakan hanya pendapat yang bersifat subjektif.
"a-aku...", Alfred nampaknya berpikir keras akan mengucapkan suatu jawaban.
"apa kau memiliki sebuah hubungan erat dengannya?", Selvan menatap Alfred.
Pada saat itu juga, Alfred merasa sedikit lebih tenang. Dirinya yang kesulitan berpikir kini seolah mendapat suatu hal yang ingin dikatakan.
"i-iya. Awalnya aku hanya menganggapnya sebagai teman. Namun lama – kelamaan, dia telah berubah menjadi bagian yang lebih penting dalam hidupku", Alfred berhenti sejenak.
"mungkin ini hanyalah sebuah rasa kesepian atau keinginan untuk terus bersamanya. Tapi apa yang jelas, Norine sudah sangat membantuku hingga saat ini. Mungkin aku bersikap egois karena belum membicarakan hal ini kepadanya. Namun dengan mendengar alasan yang kau berikan, dia pasti akan merasakan hal yang sama", Alfred dengan berani mengatakan segala hal itu.
Selvan diam sebentar selagi memandang bulan yang bersinar di atasnya.
"aku mengerti dengan perasaanmu saat ini. Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui".
"Segala persyaratan yang kuberikan padamu harus berlaku padanya juga. Dan karena dia bukan manusia yang terpilih, maka ada suatu hal yang harus dilakukan kepadanya", Selvan menatap Alfred dengan tatapan yang tajam.
"apa kau yakin bahwa dia akan setuju?!", Selvan mendekatkan wajahnya ke arahnya.
Alfred berdiri di situ dengan diam sambil memikirkan apa yang diucapkan olehnya.
"a-ku akan memberitahu segala hal ini kepadanya", ia memalingkan wajahnya ke sisi kiri bawah.
"hahh... sebenarnya aku tidak bermasalah dengan anggota dari luar yang ingin bergabung. Namun segala konsekuensinya harus ditanggung oleh semua yang datang", Selvan membalikkan badannya dan bersiap untuk pergi dari tempat itu.
Perlahan, muncullah kotak kayu yang digunakan pada waktu pertama kali mengunjungi tempat ini. pada saat di dalamnya, Alfred melihat lapangan rumput panjang yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya. Apa yang terasa olehnya hanya tiupan angin dan suaranya yang terdengar halus.
(–)
Sesampainya pada hutan itu, apa yang pertama kali Alfred lihat adalah pembatas antara tempat itu dan jalanan menuju deretan perumahannya. Dari saat itu, tidak nampak Selvan di mana pun. Yang terasa hanya kotak kayunya yang bergerak ke dalam tanah dan hilang dalam sekejap. Sambil menatap malam yang kini mulai berganti menjadi pagi, Alfred segera berlari dengan kencang menuju rumahnya. Melalui tiupan angin yang masih kencang juga, terasa jubah yang ia kenakan berterbagan dengan kuat sembari menariknya ke arah yang berlawanan arah. Meski merasa sangat lelah dan pusing, hal yang ia bicarakan dengan Selvan masih terus terbayang pada tubuhnya yang kurang fokus.
(–)
"hahh, hahh, hahh", Alfred berhasil memanjat jendela kamarnya sesaat sebelum matahari dapat terbit di hadapannya.
Sembari berdiri di kamar dan melepaskan jubah yang ia kenakan, berbagai keringat dingin terus menetes dari kepalanya hingga seluruh tubuhnya yang tidak kuat untuk menopangnya. Dengan cepat Alfred pun terbaring di ranjangnya dengan rasa kantuk yang melebihi apa yang pernah ia rasakan hingga saat ini. Tidak ingin melakukan hal apapun lagi, kegelapan cepat datang tanpa disadarinya.
(–)
"ah....", dalam waktu yang terasa sangat cepat, Alfred pun membuka matanya dengan rasa lelah yang sebagian telah hilang.
Dirinya merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya kali ini yang bertambah parah dengan sinar matahari siang yang terik. Sambil membalikkan tubuhnya dengan posisi terlentang, Alfred hanya menatap langit – langit kamarnya dengan mata yang terasa amat berat.
"apa hari ini saatnya?", gumamnya mencoba untuk melawan rasa kantuknya dengan berdiri dan bersiap untuk melaksanakan segala aktivitas paginya yang telah berganti menjadi siang.
(–)
Tak lama menjalankan segala rutinitasnya seperti biasa, Alfred pun duduk di kursi meja makan sambil menatap pintu luar di mana waktu pertemuannya dengan Norine selalu bermula. Setelah menatap pintu itu selama beberapa detik, kedua matanya ia geser menuju sisi atas kanan. Dengan rasa ragu dan sedikit takut, Alfred seolah menahan dirinya untuk segera menyelesaikan hal yang ingin ia sampaikan dengan cepat.
"mengapa aku seperti ini?", katanya pelan memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi mengingat ia memang belum mengatakan apapun kepadanya.
"sebaiknya kita dapat menaklukannya", Alfred mengucapkan kembali hal yang dikatakan oleh Norine.
"apa dia yakin dengan apa yang telah ia katakan?", pikirnya kembali dengan rasa yang semakin ragu.
"mungkin tidak", katanya tidak ingin terus terjebak dalam pemikirannya yang tidak membuahkan hasil apapun.
(–)
Disambut oleh sinar matahari terik yang serupa dengan apa yang ia rasakan sewaktu bangun, berjalanlah Alfred pada jalur yang mengarahkannya pada rumah Norine. Sinarnya yang hangat dan terang terus menutupi pandangan mata kanannya selagi ia berjalan dengan laju yang pelan. Kakinya menghentakkan bebatuan dengan pelan, matanya menatap ke arah depan tanpa melirik ke sisi lain, dan kedua tangannya merasakan getaran rasa gugup sesaat setelah sinar matahari ditutupi oleh dedaunan pohon yang kini sudah tumbuh besar. Saat dirinya menghentikan laju jalannya, disanalah Norine nampak. Tepat berdiri di sisi jalanan yang dipenuhi oleh pohon – pohon berbunga, ia terlihat siap menunggunya selama beberapa saat.
"Alfred, aku sudah menunggumu sejak tadi", katanya berjalan cepat menghampirinya.
"ah maaf, kemarin malam aku tidak dapat tidur dengan tenang sehingga aku telat bangun", Alfred membalasnya dengan senyuman kecil.
"tidak apa – apa kalau begitu. Ayo kita mulai berjalan ke taman", ajaknya sambil berjalan terlebih dahulu.
Wajahnya yang nampak riang dapat memperindah sinar matahari yang kembali datang menyinari wajahnya sesaat Alfred ikut berjalan.
(–)
"ahhhh. Hari ini terasa segar dan cerah ya", Norine memulai pembicaraan sesaat setelah mereka berdua duduk pada kursi yang sama.
"iya", balas Alfred singkat ditambah dengan senyuman kecil.
"tadi aku baru saja mengamati berbagai bunga dan tumbuhan yang sudah tumbuh dengan besar di jalanan samping", katanya menambahkan.
"iya, aku juga menyadarinya", Alfred membalasnya dengan cepat.
Dari perbincangan keduanya yang berlangsung dengan singkat, keheningan tiba – tiba datang di tengah – tengah keduanya.
"hmm, ada apa?", tidak membutuhkan waktu yang lama, Norine pun menyadari akan suatu hal yang sedang dipikirkan oleh Alfred.
"jadi bagaimana dengan pemikiranmu kemarin? Apa ada suatu kemajuan?", tanyanya.
"iya, kemarin aku bertemu dengan Selvan", Alfred menatap ke bawah.
"S-Selvan ya?", Norine berusaha untuk mengingat nama itu.
"dia memberikan lebih banyak informasi berhubungan dengan kejadian besar yang akan terjadi di kota ini dan-", perkataannya sengaja terpotong.
"lalu?", Norine memiringkan kepalanya.
"aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu".
KAMU SEDANG MEMBACA
Dungeon Duolist vol 1
FantasySinar bulan muncul di tengah malam hari yang sunyi di kota Aeithein. Dari kejadian itu, banyak orang yang tertarik akan keindahannya. Namun di balik fenomena mengagumkan itu, dari dalamnya menyimpan suatu kutukan yang melanda seluruh kota. Bagi mere...