"seorang yang datang?", Edzard terkejut serta bingung mendengarnya.
Pengguna magis itu menggerakkan tongkatnya ke atas di mana Tilia berada. Sebuah bola api keluar dari tongkat itu dan bergerak menuju arahnya. Pandangannya beralih menuju sisi tembok gelap yang berada di atas sel nomor dua. Karena pergerakannya yang tidak terlalu cepat, Edzard dapat melihat siapa yang diarahkan olehnya dengan cahaya yang tercipta selama beberapa saat. Matanya melebar, dirinya terkejut melihat siapa yang telah nampak.
"ada apa, apakah dia adalah manusia yang kau kenal?", tanya Achazia melihat respon dari Edzard.
"iya", jawabnya singkat.
Bola api yang dilontarkan oleh pengguna magis itu meledak pada arah lajunya. Bekasnya hanya menyisakan lebih banyak asap pada bagian itu. Keheningan menutupi seluruh lorong itu, tidak menandakan apakah bola api itu berhasil membunuhnya atau tidak. Melihat kejadian itu Edzard sungguh terkejut. Tubuhnya merasa tidak enak dan pikirannya menjadi kacau.
"Ti-Tilia!?", gumamnya mengira bahwa ledakan itu telah menghancurkannya.
Pengguna magis itu merendahkan tongkatnya mengira bahwa orang itu sudah mati. Namun sebelum ia berniat membuka mulutnya, kepalanya ia gerakan kembali ke arah sisi tembok yang sama. Asap bekas ledakan itu masih berterbangan ke sana kemari dengan penampilannya yang tidak dapat terlihat dengan jelas. Namun ketika ia mengamati bekas ledakan dari posisinya sekarang, tidak ada tubuh ataupun darah yang berlumuran.
"ternyata Larry benar, batu ini akan membantuku di tempat ini...!".
Mendengar suara itu, Edzard langsung membalikkan badannya. Dari situ berdiri Tilia tanpa bekas luka apapun yang mengantongi sebuah batu merah.
(–)
"Tilia!", kata Edzard merasa lega.
"Edzard! Akhirnya aku menemukanmu di tempat seperti ini", Tilia juga ikut senang telah menemukannya.
"ah, perkumpulan sesama teman ya? Memang seharusnya aku sudah menyadarinya", pengguna magis itu berjalan mendekati mereka.
Edzard kembali membalikkan badanya ke arahnya.
"Edzard, dan Tilia? Jika aku tidak salah dengar", pengguna magis itu menunjuk ke arah masing – masing.
"iya, itu benar. Lalu siapakah kau ini?", Tilia mengamati segala penampilannya.
"namaku? Oh ya tidak baik bertemu tanpa kenal nama satu sama lain kan?", jawabnya.
"namaku Igfus", katanya dengan sedikit senyuman.
"indahkan? Nama dengan sedikit percikan api di dalamnya", lanjut katanya.
(–)
Edzard dan Tilia mengambil beberapa pangkah ke belakang. Kedua mata mereka melihat pemandangannya yang semakin dekat.
"pembicaraan kecil yang menarik. Namun seperti apa yang telah kulihat ini. Nampaknya dua dari tiga yang ada di hadapanku ini berusaha untuk keluar dari tempat ini", Igfus mundur ke belakang.
"dan mengapa kau berniat untuk pergi, hewan kesayanganku Achazia? Bukankah kau senang tidur di dalam kandangmu yang hangat ini. Di mana tidak ada malam dingin yang akan menggangumu", katanya bergantian berjalan mendekati Achazia.
"singkiran tubuhmu dari hadapanku!", Achazia menepiskan badannya menjauh dari Igfus.
"heh, kau tidak pernah berubah", Igfus berjalan menjauhi Achazia dan berdiri jauh di hadapan Edzard dan Tilia.
"Edzard, salah satu orang dengan dua mata kuning dan ungu yang serupa dengan Achazia. Serta tamu baru yang datang", ia menaikkan suaranya.
Keduanya menatapnya dengan tajam.
"sebenarnya ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu Tilia", Igfus berbalik memandang Tilia dengan tajam.
"apa itu?", tanyanya.
"bola api yang kulemparkan tadi bukan hanya sekedar api biasa. Namun setelah ledakan yang terjadi, tampaknya kau muncul di tempat ini tanpa luka sedikit pun", Igfus berjalan ke kiri dan ke kanan sambil menatap bekas ledakan itu.
"pertanyaanku adalah. Siapakah kau ini?", ia berhenti berjalan dan berbalik menatap Tilia dengan wajah yang serius.
"seranganku tadi tidak dapat ditangkis oleh manusia biasa. Lebih lagi hidup tanpa ada goresan sedikit pun! Aku dapat merasakan adanya kekuatan besar yang kau simpan padamu saat ini. Kekuatan yang terasa mirip dengan apa yang pernah kujumpai sebelumnya".
"kekuatan yang besar?".
Tilia kembali mengingat segala perbuatan batu merah yang ia bawa selama ini. Keinginannya untuk menghancurkan dan merusak.
"sebenarnya tidak ada lagi yang ingin kusembunyikan karena aku tau bahwa kau akan berada di tempat seperti ini", Tilia meraih ke dalam kantongnya.
Panasnya yang terbangun selama di tempat ini semakin terasa saat Tilia berusaha untuk mengambilnya.
"apa ini maksud pertanyaanmu?", Tilia mengambil batu merah itu dan menunjukkannya tinggi – tinggi.
"b-benda itu?!", Edzard dikejutkan oleh batu merah yang menyala.
"b-batu api!", jawab Achazia mengenali benda tersebut.
Seketika itu juga, ekspresi terkejut dan bingung tertulis pada seluruh wajah Igfus. Dirinya tidak menyadari akan melihat batu itu. Sikapnya yang percaya diri kini berubah menjadi diam. Kepalanya diturunkan ke bawah dan dia diam selama beberapa detik.
"ahahahahahahahahahahahahah!!!".
Tiba – tiba kepalanya digerakkan ke atas dan suatu suara tawa histeris keluar dari mulutnya.
"apa – apaan dia ini?", Edzard mengambil satu langkah ke belakang.
"ah iya, sekarang aku ingat dengan batu itu. Hey Tilia, apa kau tahu benda apa yang kau miliki itu?", kedua mata ungunya menatapnya.
Tilia hanya diam, tidak tahu ingin menjawab apa.
"Batu dengan kekuatan dan masa lalu yang gelap. Keinginannya hanya untuk menghancurkan dan membinasakan segala yang ada di jalannya. Dan ketika napsunya telah terpenuhi, barulah ia akan puas", ucapnya mengeluarkan tongkat dengan batu yang serupa dengan milik Tilia.
Setelah mendengar pernyataan darinya, barulah Tilia menyadari bahwa keinginan dari batu merah sangatlah serupa dengan apa yang ia alami dalam perjalanannya ke sini.
"sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Namun mengingat segala hal itu membuatku sangat mual. Hanya dengan melihat wajahnya saja membuatku ingin membunuhnya", Igfus meraba tongkatnya dengan halus.
"tapi dia tidak berada di tempat ini sekarang. Sayang sekali kau yang mempunyai batu itu saat ini".
Matanya digerakkan memandang mereka dengan sinis.
"kalian sama – sama manusia kan?", katanya menghilangkan segala suara yang ada di lorong itu.
Ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Dibandingkan dengan sikapnya yang pasif barusan. Kini apa yang terlihat di matanya hanya bara api yang menyala dengan terang. Area di belakang lorong sel kini terasa lebih panas dibandingkan dengan sebelumnya. Produksi asap dari ruangan persegi panjang pun rasanya semakin membanyak. Edzard berdiri di situ dengan tangan kirinya yang menyiapkan kekuatan esnya.
Dan dari sebelahnya, Achazia juga bersiap – siap dengan cakar serta sayapnya yang terbuka. Keduanya tahu bahwa kekuatan dari diri Igfus masih belum mereka pahami, namun setelah segala dilakukan, mereka tidak ingin lari lagi. Meskipun dengan tindakan keduanya yang sudah berjaga – jaga, Tilia merasakan kekuatan yang melebihi apa yang pernah ia rasakan di dalam batu merahnya itu.
"Edzard dan Achazia, kita tidak dapat menghadapinya sekarang. Peganglah tanganku!", ajaknya sambil menggenggam batu merah pada tangan kirinya.
Meskipun Edzard sudah bersiap untuk menghadapinya, ia tetap mempercayai perkataan Tilia dengan segala pengalaman yang ia miliki bersama batu itu.
"aku harap rencanamu dapat berhasil", kata Edzard meraih tangan kanan Tilia.
Pegangan tangan itu juga diikuti oleh Achazia yang meraih tangan kanan Edzard yang telah tersentuh oleh batu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dungeon Duolist vol 1
FantasySinar bulan muncul di tengah malam hari yang sunyi di kota Aeithein. Dari kejadian itu, banyak orang yang tertarik akan keindahannya. Namun di balik fenomena mengagumkan itu, dari dalamnya menyimpan suatu kutukan yang melanda seluruh kota. Bagi mere...