Flowing down

2 1 0
                                    

hey hey, saatnya untuk backstory yang kedua*

baru sadar kalau aku bilang kedua di spread like wildfires (ehe)

tapi ini backstory part kedua yang bukan kelanjutan langsung dari sebelumnya ya.

as always, i hope you enjoy (;

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"uhuk, uhuk, uhuk", suara batuk terdengar semakin kencang dari sekitar kamar tidur yang besar itu. 

Pada ranjang yang bersih dan juga indah, terbaring seorang pria berumur empat puluh tahun dengan wajah yang pucat. Sambil dikelilingi oleh seluruh keluarganya, pria itu memandang langit – langit ruangannya dengan tatapan yang kosong. 

"bagaimana kondisinya?! Apa sudah membaik?!", seorang wanita dengan umur yang serupa dengannya bertanya pada seorang yang mengenakan pakaian berwarna hitam. 

Pada sisinya terdapat berbagai pisau dan juga gunting. Sambil memakai sarung tangan, ia memeriksa raut wajah pria itu sambil menghela napasnya. 

"maaf nona, tapi sepertinya keadaannya belum juga membaik", jawabnya sembari bangkit berdiri dengan tongkatnya yang ia ambil dari bawah lantai. 

"bagaimana hal ini bisa terjadi?", kata wanita itu dengan perasaan sedih sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. 

"uhuk, uhuk..!, ....A-Alfred", pria itu sedikit membuka matanya. 

"i-iya ayah...?", Alfred berjalan mendekatinya sambil menahan rasa sedih. 

"uhuk, uhuk...! Sepertinya waktuku sudah tidak lama lagi. Aku mengira bahwa penyakit ini akan hilang dengan cepat. Tapi aku salah", katanya menghadap sedikit ke kanan. 

"sayang sekali aku tidak dapat melihatmu tumbuh untuk ke depannya". 

"a-ayah, jangan mengatakan hal itu!", Alfred meneteskan air matanya. 

"aku ingin kau agar terus tumbuh menjadi seorang yang besar dan hebat di mata masyarakat. Maka dari itu, berjuanglah pada kehidupan yang berat ini!", pria itu tersenyum kepadanya. 

Mendengar segala hal itu, Alfred dan ibunya tidak sanggup menahan rasa sedih yang ada pada diri mereka. Lantai dan tempat tidur yang ditempati olehnya kini dibasahi oleh tangisan dan air mata rasa tidak percaya. Meski kejadian di ruangan itu terasa berat dan waktu terasa berhenti di tengah – tengah mereka, hari yang tidak ingin mereka bayangkan kini datang dengan cepat. 

(–) 

Sambil mengenakan pakaian berwarna gelap, Alfred dan ibunya berdiri pada sebuah lahan luas yang kosong di mana batu peti itu tertulis nama Benedict. Hari itu terlihat cerah di mana angin bertiup dengan kencang dan matahari memberikan sinarnya yang begitu terang. Namun pada lingkup pikirannya saat ini, hanya ada rasa sedih, kecewa, serta kesal dengan segala hal yang terjadi. 

"egh....!", Alfred menatap ke bawah sambil merapatkan giginya. 

"mengapa penyakitnya tidak dapat disembuhkan? Dokter macam apa yang tidak dapat melakukan tugas mereka? Mengapa harus ayahku yang terkena segala hal itu?!", Alfred tidak dapat berhenti memikirkan segala hal itu. 

Tangannya dikepalkan dengan erat dan matanya ia tutup dengan rasa sakit yang ada dalam hatinya. Terdapat suatu hal yang ingin ia sampaikan namun hal itu tidak dapat ia keluarkan. Sebelum Alfred menyadarinya, sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan lembut. Langsung membuka matanya dan menghadap ke belakang, ia melihat ibunya yang juga menampakkan penderitaan yang ia alami. 

"ayo kita kembali", katanya sambil menatap kedua mata Alfred yang merah. 

"b-baiklah", jawabnya sambil membalikkan tubuhnya dengan gerakan yang lambat. 

Dungeon Duolist vol 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang