"api", Tilia berdiam di tempatnya melihat pemandangan tersebut.
"elemen api. Iya, itu dia jawabannya", kata Tilia menyimpulkan hal itu sambil membiarkan segala rerumputan hijau yang membungkus batu itu terbakar hingga hangus.
Setelah segala rumput hijau berubah menjadi hitam, Tilia menyingkirkan sisa – sisa bekas abu tersebut dari permukaan batu. Ia memegangnya perlahan agar tangannya tidak terasa begitu panas.
"elemen api, seperti batu yang kupegang saat ini", Tilia menaruhnya di pangkuannya.
Walau batu merah itu memberikan rasa yang cukup panas jika disentuh oleh siapapun atau benda apapun, batu yang ada di dekatnya tidak memberikan rasa panas seperti yang terjadi di dalam area pepohonan itu.
"memang kali ini aku memiliki batu dengan elemen yang memiliki potensi paling besar, namun karena Larry tidak memberitahuku banyak informasi mengenai cara menggunakannya, aku tidak akan tau cara mencari petunjuk lebih lanjut", katanya memperhatikan batu itu yang mulai bersinar merah kembali.
"mungkin tidak apa – apa jika dicoba kembali".
Tilia memegang batu itu dengan kedua tangannya dan menutup matanya. Segala kekhawatirannya terhadap monster yang berada jauh di depannya ia singkirkan terlebih dahulu agar mencapai suatu ketenangan di dalam dirinya.
"kehancuran, derita, dan kemusnahan", suara itu muncul kembali dalam pikirannya.
Nadanya tidak banyak berganti seperti yang sebelumnya. Namun yang kali ini, hasratnya terdengar makin dalam.
"kehancuran, derita, serta kemusnahan. Apa itu segala hal yang dipikirkan oleh pengguna dengan kemampuan api. Bagaimana tanggapan atau perilaku Larry dalam menangani kuatnya keinginan menghancurkan dari dalam batu itu?", Tilia kembali memikirkan hal itu.
"jadi yang kau ingin lakukan adalah menghancurkan? Baiklah, untungnya pemikiranku sebelumnya saling berhubungan dengan kehancuran suatu elemen lainnya. Lebih tepatnya tanah atau yang dapat juga menciptakan tumbuhan seperti pohon", Tilia kemudian membuka matanya.
Masih memegang batu merah itu ia berdiri. Di hadapannya, berdiri sebuah hutan lebat yang menyapanya dengan kegelapan malam yang kejam. Dari mana ia berdiri, jalannya merupakan jalur utama menuju Aeithein yang dapat banyak ambil. Walau banyak yang melewatinya karena jarak dan penanda yang mudah untuk diingat, jumlah monster yang hinggap di area itu tidak dapat diprediksi oleh siapapun.
(–)
Tilia berlari membawa batu itu di tangannya. Meskipun hawanya masih memancarkan rasa panas kepada tangannya, ia tidak ingin melepaskan benda itu dari genggamannya. Berbagai suara serta geraman monster yang kemungkinan ada di sekitarnya hanya ia acuhkan. Walau Tilia sudah memasuki wilayah Aeithein sejak tadi, ia masih ingin mencari sebuah petunjuk yang akan membuahkan suatu hasil.
Segala iringan pohon yang melewatinya dengan cepat tidak juga memuaskan pikirannya dengan hasil yang ia anggap kekosongan belaka. Setelah berlari lurus menuju kegelapan, sebuah hal mengejutkan dirinya. Sedikit tersentak dengan apa yang telah saksikan, Tilia tidak sengaja tersandung sebuah akar kayu yang ada di jalannya. Ia terjatuh dengan cukup keras dan batu yang pegang juga ikut menghantam tanah.
"aduh", katanya berbaring di tanah.
Tidak ingin rasa sakitnya mengguncang hal yang baru saja ia lihat, Tilia langsung bangun. Ia mengambil batu merah yang terjatuh dan bergegas berjalan ke belakang.
"ini dia", katanya menghela nafasnya.
Keringatnya terjatuh dari wajahnya menuju ke tanah diikuti oleh tubuh yang terasa sangat lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dungeon Duolist vol 1
FantasySinar bulan muncul di tengah malam hari yang sunyi di kota Aeithein. Dari kejadian itu, banyak orang yang tertarik akan keindahannya. Namun di balik fenomena mengagumkan itu, dari dalamnya menyimpan suatu kutukan yang melanda seluruh kota. Bagi mere...