"Biarkan aku melihat wajah bayiku, Sehran. Untuk pertama dan terakhir kalinya, please.."Jihan berucap lirih.
Sehran menghela nafasnya lelah, ia bahkan tak sanggup melihat wajah bersih bayinya tadi saat di urus oleh para perawat. Putra bungsunya yang malang itu tidak sempat mendengar suara orangtuanya, tidak sempat melihat dunia. Jika Sehran saja tak bisa menahan tangisnya, maka bagaimana dengan Jihan? Ia pasti akan semakin hancur karena kehilangan anaknya untuk yang kedua kali.
Dengan pasrah akhirnya Sehran memerintahkan bawahannya untuk meminta perawat membawa jasad bayi yang merupakan anak nya dengan Jihan. Kemudian bayi itu datang dengan didorong oleh kereta kecil bersama seorang perawat wanita.
Dengan gemetar Jihan menggendong tubuh bayi kecil nya yang sudah tak bernyawa, tubuh dingin dan biru itu membuat Jihan tak kuasa menahan tangisnya.
"Hiks... Maafkan Mami yang gak mampu mempertahankan kamu nak, hiks.. hiks.."ia tak mampu lagi mengucapkan kata-kata dan hanya menatap wajah bulat dengan pipi berisi, hidung mungil dan rupa yang lucu serta manis. Perawakannya bersih, bersinar meski matanya terpejam abadi.
Jihan sangat ingat wajah bayi nya yang sudah tiada, lekuk wajah yang dengan insting keibuannya ia tahu bahwa jika saja bayinya itu masih hidup maka ia akan tumbuh menjadi anak yang manis dan menggemaskan. Setiap ibu yang kehilangan bayinya punya gambaran sendiri dan khayalan sendiri tentang anaknya. Berandai-andai bagaimana ketika anaknya besar nanti.
Dan ia yakin sekali bahwa wajah anak yang ia tolong adalah gambaran wajah yang mirip dengan bayi nya yang sudah meninggal. Hesa, ia mirip dengan anak bungsunya meski wajah mereka memiliki lekuk yang cukup berbeda. Mata rusa dengan bulumata lentik, hidung mungil dan bibir merah muda berbentuk hati.
Jihan hanya berusaha menegarkan hati, maka dari itu ia tertegun ketika melihat wajah Hesa untuk pertama kalinya. Ia bahkan sangat panik ketika anak itu keracunan hingga ia rela melupakan keanggunan nya dengan menggendong anak kecil yang pingsan dengan tergesa-gesa.
"Mami,"panggilan dari Jemiel membuyarkan lamunan Jihan. Ia menatap anaknya yang datang dari arah pintu kamarnya.
"Ada apa sayang?"tanya Jihan lembut.
"Mami gak capek berdiri di balkon, mana malam-malam gini lagi, gak dingin?"
Jihan tersenyum hangat lalu mengusap surai Jemiel dengan penuh kasih sayang, "Kamu kenapa belum tidur? dah malem tau besok kan mau sekolah,"Ucap nya seperti mengalihkan topik.
"Emm nanti, setelah aku pastiin Mami istirahat,"mendengar perkataan putranya ia langsung menatap heran. Apa yang membuat Jemiel jadi sangat berbeda dari biasanya itu.
"Tumben deh kamu gini ke Mami,"
"Ish orang serius juga. Gih Mami istirahat, gak usah tungguin papi yang lagi meeting sama Dedushka."
"Jem, Mami wants to ask you something,"
"What's that?"
"Do you want a little brother?"Jemiel diam, ekspresi nya monoton. Tidak tersenyum ataupun marah, hanya sedikit datar.
"Gak usah bahas yang aneh-aneh deh Mi. Udah ah, Jemiel mau tidur dulu,"
Melihat reaksi Jemiel ketika ditanya soal kehamilan Jihan, maka ia akan sangat marah dan emosinya tak terkendali. Ia tahu jika Jihan membahas hal seperti ini akhirnya malah ia akan terus mendengar penyesalan serta kata maaf dari ibunya itu, Jemiel takkan bisa menahan nya.
"Honey, kenapa Jemiel kemari?"suara Sehran terdengar ketika beberapa waktu Jemiel keluar dari kamar.
"Hanya memastikan aku sudah tidur atau belum,"sahut Jihan tanpa menatap Sehran. Wanita itu hanya menunduk menetralkan rasa sedih yang tiba-tiba berkecamuk dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
【 𝙃𝙚𝙨𝙖 】
Hayran Kurgu𝐈𝐚 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐰𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐤𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐝𝐢 𝐜𝐥𝐮𝐛 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐰𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐛𝐮𝐫. 𝐀𝐩𝐚 𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐣𝐢𝐤𝐚 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐫𝐚...