62 || Enampuluh Dua

4.7K 812 273
                                    

Happy reading:)

Jan lupa tetep ramein komen yaa pwiss..

Sorry for Typo :)

•••••

"Bukannya kalian detective terkenal? Ini sudah hampir satu bulan dan kalian bahkan tidak menemukan jejak sedikitpun tentang putra saya?!"bentak Sehran sambil membanting berkas-berkas berisi data orang-orang yang di curigai.

"Maaf tuan, kami masih butuh waktu,"seorang pria yang di gadangkan sebagai mantan anggota rahasia negara itu.

Brak!

Brak!

Brak!

"Berapa lama lagi! Berapa banyak lagi waktu yang kalian butuhkan! Hampir satu bulan dan bahkan Saya tidak tau bagaimana kabar anak saya! Apa ini masuk akal!"sentak Sehran sambil memukul mukul meja.

Deondra yang berada di ruangan yang sama hanya mampu menunduk dalam. Pria muda itu ikut prihatin akan hilangnya Hesa, yang ia bisa hanya mengurus berbagai kebutuhan Sehran dan berusaha semaksimal mungkin untuk menggantikan boss nya itu mengurus perusahaan.

"Salah saya mempercayakan ini pada kalian, jika banyak lagi waktu yang kalian butuhkan. Apa kalian bisa menjamin putra saya baik baik saja?! Saya butuh secepatnya! Semua fasilitas saya danai, tapi kenapa? Kenapa kalian Lelet sekali?! APA YANG KURANG?!"sentakan itu ditutup dengan perginya Sehran sambil membanting pintu ruangan. Ia pergi begitu saja dengan perasaan kesal yang membuncah.

Apa yang harus ia katakan pada istrinya jika sampai saat ini masih belum ada kemajuan dari pencarian putra mereka? Bagaimana ia mampu menghadapi semua ini dengan tenang jika bahkan sedikit saja ia tak tahu bagaimana keadaan putranya.

Maka dengan gegabah pria itu melampiaskan amarah, kecewa dan gelisah dengan menyetir mobil secara ugal-ugalan di jalan. Ia berteriak dengan kencang diiringi air mata berlomba lomba keluar seakan menumpahkan keputus asaan yang tak mampu ia bagi pada siapapun. Karena ia adalah Sehran, seorang suami sekaligus kepala keluarga yang menjadi sandaran keluarga kecilnya.

Sementara itu keadaan gelap disebuah hutan dengan suara burung gagak menggema menciptakan suasana mencekam. Udara dingin dan menusuk mampu membuat bocah yang meringkuk di tengah hutan itu menggigil.

Bocah itu terus bergumam dengan mata yang terpejam. Suara yang lirih dan lemah tetap bisa terdengar di sunyi nya malam itu. Cahaya bulan remang remang menyoroti seakan mempertontonkan seberapa menderitanya bocah itu sekarang.

Bocah itu terbangun dan duduk dengan perlahan, ia menatap sekeliling dengan netra yang gentar. Wajah pucat bak mayat hidup itu menangis terisak ketakutan. Samar dapat ia  lihat seorang pria bertubuh tinggi dan paras kebarat-baratan mendekatinya. Melemparnya dengan berbagai senjata tajam.

Bocah itu berdiri dengan tertatih, kedua tangannya Masing-masing meraih pisau bermata tipis dengan ujung yang runcing serta belatih melengkung bak cakar elang.

Pria yang melemparinya dengan senjata tajam itu kemudian berlutut di hadapannya. Mata bocah itu langsung berubah menjadi biru kelam dengan tatapan sedalam lautan.  Dengan sadisnya bocah itu menusuk, menyayat dan menyobek tubuh pria dihadapannya hingga darah menyiprat ke sekitar.

Bocah itu ikut berlumuran darah, wajahnya menyeringai setelah melihat pria itu tewas. Tangannya yang penuh darah itu mengusap noda yang mengotori wajahnya. Ia membuang semua benda tajam di sekitarnya lalu beteriak histeris. Bocah itu menangis sambil terduduk lemas dan putus asa.

【 𝙃𝙚𝙨𝙖 】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang