★ D.A - S3 - 01 ☆

11.2K 1.5K 405
                                    

"Ayaaah!"

"Ayaaah.. tolong!"

"Tolong.. Ayaaah.. tolong!"

"A------aku.. aku Del------Argh!"

"DELON!"

Argon sontak terbangun dengan napas memburu. degub jantungnya bergemuruh hebat dengan keringat yang turut membasahi kedua pipinya. "Delon.." lirihnya pelan dengan mengusap ujung matanya yang terasa berair. tatapannya lalu tertuju ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, 3.45 dini hari. dan posisinya sekarang masih terbaring di sofa yang ada di ruang tengah, tubuhnya juga masih terbalut setelan jas lengkap.

Selalu seperti ini, akhir-akhir ini dia selalu terbangun karena mimpi. mimpi yang sama, suara yang sama, tatapan yang sama dan suasana yang sama. di mimpinya itu, Argon tidak melihat apapun selain sepasang mata yang menatapnya penuh kerinduan dalam kegelapan. termasuk dirinya yang tidak ada di sana. gelap, sunyi, dan penuh ketenangan. hanya suara renyah serta rengekan yang dia dengar yang seakan berusaha menembus perasaannya yang mendingin. tidak luput pula debaran jantungnya yang berdebar kian hebat kala mendengar kata Ayah yang telinganya tangkap.

Ya, Ayah?

Aku sayang Ayah!

Delon benar-benar sayang Ayah!

Ayaaaah! oh, lihat! lihat! lihat! Ayah siapa yang tampan ini! bahkan, konsonan keindahan langit tidak bisa menandingi keindahan wajahnya yang bersinar terang seperti rembulan, oh, tidak! bahkan putramu yang tampan ini siap terbang dari helikopter agar bisa melihat wajahmu yang bersinar terang seperti bintang segitiga!

Senyum Argon terbit dengan tipis begitu mengingat beberapa kalimat yang pernah Delon utarakan. termasuk kalimat terakhir yang putranya itu utarakan ketika menginginkan sesuatu.

Menghela napas pelan, Argon yang tidak ingin memikirkan tentang mimpi yang dia dapat lantas bergerak untuk meninggalkan ruang tengah. jika biasanya dia menaiki lift, maka berbeda dengan sekarang, turun ataupun naik, dia sudah biasa menggunakan tangga. karena, setiap kakinya berpijak di anak tangga, pikirannya selalu tertuju kepada Delon, putranya itu selalu turun ataupun naik menggunakan tangga. bahkan, sampai meluncur dari atas tanpa takut terjatuh, meski pernah berguling karena tersandung oleh kakinya sendiri.

Argon tertawa pelan, meski rasa sesak kembali menghampiri. tidak dipungkiri, jika hari ini dia benar-benar merindukan sosok Delon. kematian putranya itu sudah terhitung setahun, tiga hari yang lalu, tepat di hari ulangtahunnya.

Kembali, helaan napasnya terdengar sebelum tangannya menekan knop pintu. kamar dengan nuansa hitam langsung menyambut hangat kedatangan Argon saat ini, tidak luput pula beberapa pajang bingkai foto yang langsung membuat sudut bibirnya terangkat. diambilnya satu bingkai yang memperlihatkan foto Delon yang berpose kesal yang dia ambil secara diam-diam. "Sungguh, Delon. hidup dalam kerinduan sangat berat. jika bisa, Ayah ingin memelukmu sekali saja.  sekali saja, biarkan rindu Ayah melebur bersama dengan kehadiranmu, Delon!meskipun hanya se-saat!"

Sedetik setelahnya, tubuh Argon tersentak saat merasa sepasang tangan merengkuh tubuhnya dengan erat. saat itu juga air mata yang dia tahan mengalir secara teratur membasahi kedua pipinya. "Papi.."

Zinc menghela napas pelan. dia usap punggung Argon yang terasa bergetar. setahun berlalu, ternyata hanya bulan, minggu, hari, jam, menit, dan detik saja yang berganti. kesedihan dan rasa bersalah masih terpendam di lubuk hati keponakannya ini. bahkan, untuk kembali ke Indonesia, pemuda itu menolak dengan tegas dan berencana akan menetap di Swiss. "Archy.. sampai kapan kau mau seperti ini? Delon sudah tenang. semua sudah berlalu, Delon juga tidak akan suka melihat Ayahnya terus-terusan bersedih seperti ini. bangkit nak, bangkit! setidaknya demi putramu, Archy!"

Different, D.A || Selesai ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang