Bab 1: Shiganshina

1.7K 229 84
                                    

Tiga hari sebelum X

M.I.T.R.A.S terconteng di sudut jalan, di dinding, di badan tempat sampah tak terurai, dan di bangku kayu berayap. M.I.T.R.A.S—Jangan tanya mengapa ada titik kecil di tiap hurufnya. Ibuku bilang pemerintah monarki ingin pusat kotanya disebut dengan penuh penghayatan.

Aku menyebutnya dengan sumpah serapah.

Monarki adalah sekelompok penindas, pembunuh, pemerkosa, seperti para antagonis dalam komik karya Sir Dot Pixis yang berjudul Tukang Pukul (komik ini diam-diam kusimpan di bawah kotak GameStation IV bersampul rapat, sayang sudah tak boleh beredar di sekolahan akibat kontennya dituduh kurang mendidik!).

Ibu kota Mitras berjarak jauh dari Shiganshina, tetapi puncak gedung metropolisnya menjajah langit utara dan dapat terlihat ke mana pun kau pergi. Puncaknya terlihat dekat berkat ilusi optis berbentuk puluhan kapsul pipih. Pesawat pemerintah menebar, menjamah atap-atap rumah, melaksanakan program tiga bulan sekali pemerintahan monarki.

Hari ini adalah tanggal empat.

Tanggal empat diberi tanda silang merah dalam kalender terbitan pemerintah. Tak boleh kau lupa. Tak bisa kau berpura-pura lupa walau sengaja tidak membeli kalender. Ada detensi hukum bagi warga yang mangkir.

Pengingat otomatis terprogram pada ponsel setiap warga serupa jam beker bangun pagi. Berbunyi beep beep beep memusingkan. Percuma mengosongkan baterai ponsel untuk menghindari notifikasi. Pintu rumahmu diketuk, kau pasti didatangi.

Lihat ke atas sekarang, ada pesawat kapsul bermain roller coaster di langit Shiganshina. Imbauan bergaung lewat mikrofon. "Atensi! Atensi! Seluruh warga Shiganshina harap segera merapat ke lapangan sebelum pukul dua belas. Vaksinasi massal gelombang keempat akan diadakan—"

"Aku tahu!" teriakku, mengacungkan jari tengah ke angkasa. "Kalian tidak perlu teriak-teriak!"

Pejalan kaki bergerombol di kanan dan kiri, berjalan searah. Mobil, sepeda, motor berbelok ke arah yang sama. Di sampingku terdapat bangunan kosong dengan tulisan merah yang mencoret dinding batanya: "KIAMAT YANG TIDAK TERASA." Pengemis tua sedang merapikan lapaknya di depan dinding itu, lalu beranjak sejalur pejalan kaki lain.

Berlari sepanjang trotoar, aku melawan arus pejalan kaki. Petugas keamanan berwajah familier memergokiku. Paman Hannes! Dia selalu muncul saat tak tepat. Kuabai panggilannya dan terus berlari. Paman Hannes mengejar dari belakang, membunyikan peluit berkali-kali.

"Eren! Mau ke mana kau?! Cepat pergi ke lapangan untuk divaksin!"

Aku berlari menutup telinga.

Paman Hannes kehilangan jejakku di gang tikus.

Tubuhku, walau tak kecil-kecil amat, mudah menyusup seperti asap di antara kerumunan. Aku berlari melintasi kepadatan mobil di area tol, melompati rel kereta api berliku menuju hamparan bendungan, menanjak jalan setapak bukit. Tujuanku adalah puncak bukit di atas lahan puluhan mil berpagar listrik.

Saat melihat ke kanan bukit, berhektar-hektar luasnya, terbentang dinding jeruji setinggi puluhan meter yang tidak tampak ujungnya. Tidak jauh dari rumah, sekolah, dan jalan raya Shiganshina. Dari atap rumah mana pun, kau pasti bisa melihat bentangan lanskap dunia luar berdinding listrik.

Di luar pagar listrik itu, ratusan siluet gelap tubuh berputar-putar mencari jalan masuk. Yang nekat mendekati pagar listrik pasti terpanggang. Sisanya menggelepar di tanah bagaikan cacing.

Jalan setapak kecil di dalam hutan menukik ke atas seperti tangga terjal. Bau jejamuran segar dan sisa panggangan ubi kayu dapat tercium.

Jean Kirstein—salah satu teman alfaku yang menyebalkan—berdiri menyambutku di puncak tangga. Ia berkacak pinggang seperti preman alfa paling ditakuti sedusun.

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang