Pada dinding gedung kosong itu tampak tulisan besar berwarna merah.
KIAMAT YANG TIDAK TERASA.
Hanya aku yang tahu artinya.
Karena akulah yang mencoret dinding itu.
Hanya dua orang yang tahu rahasia ini; Bertholdt dan Reiner. Kami bertiga pergi pada malam hari untuk uji nyali. Reiner bilang ia berani memanjat pagar dan membunuh satu zombi. Bertholdt penakut, tetapi berpura-pura bisa melakukannya juga. Lalu, kukatakan pada mereka ada yang lebih menakutkan dari makhluk-makhluk terinfeksi di luar sana. Kuambil cat semprot merah untuk mencoret dinding gedung kosong milik monarki.
Aku ingat ketika kami bertiga berlari menerjang angin saat ketahuan petugas patroli. Kami tertawa. Kami menghirup udara busuk dari selatan yang menerpa wajah kami seolah kami penguasa dunia. Saat pulang ke rumah, aku tersenyum-senyum dalam tidur. Mikasa menatapku dengan pandangan dingin kesal pagi harinya. Aku bisa menyombong di depan Connie, Jean, Armin, dan Sasha.
Kenangan itu bagai mimpi.
Sekarang gedung kosong sepuluh lantai itu berdiri sunyi di tengah kota Shiganshina. Di luar sana lalu lintasnya tak pernah sepi, tetapi juga tak pernah seramai sekarang.
Jeritan masih terdengar. Bunyi koyakan daging dan remukan tulang. Geraman buas dan ledakan.
Kupilih gedung ini sebagai tempat terakhirku. Sedikit jauh dari rumah, tetapi masih berada di wilayah tempat tinggalku.
Shiganshina akan dijatuhi bom oleh monarki. Target paling potensial adalah gedung di pusat kota ini. Aliran listrik akan menjalar cepat, meledakkan rumah-rumah yang berdempetan seperti rantai, memusnahkan semua yang tersisa.
Termasuk aku yang sudah tidak lagi berakal.
Barikade kursi dan meja kubangun di depan pintu utama gedung. Aku berlari lewat tangga darurat. Pintu utama berdentum kuat ketika aku mencapai lantai keempat. Mereka sudah menerobos barikade.
Mereka merayap dari ujung ke ujung meja, mencariku. Mereka berlari, mengendus, mencium sisa-sisa kehidupan manusia di antara furnitur gedung.
Aku mengunci diri di dalam lemari besi.
Masih tersisa segaris baterai di dalam ponselku. Aku mengetik pesan cepat.
"Ayah maafkan aku. Tidak bisa menyelamatkan Ibu. Maaf dan terima kasih. Maaf aku tidak bisa pulang lagi. Aku anak tidak berguna."
Pesan itu kukirim berkali-kali, tetapi tidak pernah sampai. Listrik mati. Sinyal komunikasi dan internet tak terlacak. Aku meringis, memegangi gagang sapu dengan pisau terikat di ujungnya.
Kugenggam kuat-kuat kalung kunci pemberian Ayah.
Entah dua atau tiga zombi sedang merangkak ke arah lemari besiku.
Pisau itu tajam, mengiris ujung jariku dengan sedikit goresan. Sangat mudah untuk bunuh diri. Tinggal arahkan pisau itu untuk menembus leherku, memotong pembuluh arteri, melenyapkanku selamanya.
Tidak kulakukan.
Bunyi tembakan terdengar jauh dan dekat, kemudian sangat dekat. Kututup telingaku, menggigil hebat.
Pintu lemari besi kutendang terbuka.
Aku melompat keluar. Aku menggeram, melawan. Gagang sapuku mengayun membabi buta. Ujung mata pisau membolongi kening zombi bergigi tak rata. Darahnya muncrat ke wajahku.
Derap langkah mereka bergetar di bawah tangga. Semua mengejarku.
Aku berlari menuju lantai teratas gedung, menyasar satu-satunya ruangan gelap dan kosong di ujung koridor. Pintu kukunci. Aku meringkuk di pojok ruangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/321094718-288-k233574.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
X [RivaEre Fanfiction]
ActionProsesnya menahun. Bertahap, bertingkat, berlanjut tanpa jeda. Saat terjadi, segalanya berlangsung cepat. Tidak ada pernyataan ofisial. Namun, mereka sepakat menamainya Peristiwa X karena huruf X tersebar di mana-mana; di dinding, besi tiang jemuran...