Bab 3: Nerves

904 188 18
                                    

Satu hari sebelum X

BANGUN tidur.

Cairan pekat menggenangi separuh ranjang dan melumuri paha dalamku. Denyutnya masih terasa, menguat ketika bergerak. 

Darahku mendidih. Pembuluh darahku bagaikan ingin mencuat ke permukaan kulit, haus sentuhan menggelitik. Aku kelimpungan selama beberapa menit tak tahu harus memutar tubuh ke kanan atau kiri. Seprai dingin bergesekan dengan tubuhku yang panas. 

Aku menggeram.

Isi kepalaku berjejal oleh gambar-gambar aneh pertautan dua tubuh. Dia yang berotot penuh dan aku yang baru separuh tumbuh. Kami melekat, tarik ulur, maju mundur. Lem dengan kertas. Gesekan aspal dengan ban sepeda motor.

Pasti Mikasa sedang melihat kegelisahanku dari lubang intip saat ini. 

Masa bodoh.

Desahanku tidak sanggup ditahan.

Bayang-bayang wajah si pria bermotor itu menghantuiku di mimpi lagi! Jari-jarinya membungkus pedang samurai panjang di punggung. Deretan gigi zombi siap mencabik. Si pria bermotor menusuk salah satu zombi aneh yang berwujud gorila. Sambil membantai, matanya terus menatapku. Panas. Aku mencapai apa yang disebut pelepasan.

Malu, sesal, marah bercampur aduk di balik mataku dengan warna yang lebih pekat dibandingkan teh madu buatan Ibu. Aku turun dari ranjang dan jatuh berlutut. Tarik napas beberapa menit, langsung melompat berdiri lagi. 

Seprai basahku harus segera dibumihanguskan!

Sasaran pelarianku adalah benatu dengan plang "Buka 24 jam". Masuk ke dalam, lirik kanan-kiri. Sepi. Detergen berbau harum vanila. Seprai katun kumalku bergulung dalam putaran mesin cuci.

Stiker simbol sayap kebebasan milik kesatuan Survey Corps tertempel di kaca bulat mesin cuci. Aku terduduk, mengamati stiker itu dengan pikiran menerawang. Melamun. Bola mataku bergerak mengikuti perputaran mesin penggilingan.

Di luar sana matahari pagi menyisir pagar-pagar kawat berlistrik Shiganshina.

✖️

Ini hari Minggu, giliranku mengantar susu. Menjadi kurir susu olahan toko kelontong Paman Hannes adalah sumber uang saku anak sekolahan sepertiku untuk membeli komik. 

Pulang dari benatu, aku mandi pagi dan menjinjing ransel berlogo sapi. Mikasa meminta ikut. Kusuruh dia menjaga Ibu saja di rumah.

Paman Hannes sedang tidak berseragam satpam hari ini. Ia duduk di depan toko kelontongnya sendiri sembari mendengarkan radio tua.

"Eren? Mikasa tak bersamamu?" tanya Paman Hannes.

Aku bergeleng. "Aku sendiri saja hari ini."

Paman Hannes menunjuk beberapa botol susu yang ia letakkan dalam dus-dus cokelat di meja kasir. Ada kalender usang berdebu yang tak pernah diganti di atas meja itu.  Paman Hannes sangat malas membersihkan toko. Belakangan aku paham Paman Hannes adalah pria berhati rapuh. Banyak benda di toko ini yang dianggapnya sebagai benda kenangan, termasuk kalender pemberian ayahku kepadanya.

Ayahku pernah menolong istri Paman Hannes yang nyawanya nyaris tak tertolong. Mereka adalah teman akrab jauh sebelum aku lahir. Sebagai balas budi, Paman Hannes menganggapku seperti anaknya sendiri dan selalu memperhatikan keluarga kami.

"Eren," panggil Paman Hannes tepat sebelum aku mengayuh sepeda.

"Ya?"

"Hati-hati jika kau bertemu lagi dengan mereka lagi."

" ... Mereka?"

Paman Hannes merendahkan suaranya. "Para mafia bawah tanah. Aku sering melihatnya akhir-akhir ini."

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang