NILAI nol adalah kehidupan.
Aku berkutat dengan banyak benda-benda bulat seperti panci, piring, mangkuk, roti burger. Namun, hamburger keju tidak seburuk angka di kertas tes matematika.
Senin sore adalah waktunya kursus tambahan di luar jam sekolah. Aku menarik tangan Armin sebelum ia beranjak keluar kelas. "Jangan pulang. Kumohon. Besok kesempatan terakhir untuk mengulangi tes. Temani aku belajar!"
"Baiknya kita belajar di rumahmu," Armin menyarankan.
"Jangan! Ibu sedang sakit. Jangan sampai dia tahu kau datang ke rumah mengajar matematika karena nilai tesku nol dan besok adalah kesempatan remedial terakhir!" Aku memohon.
"Kakekku sedang sibuk dekorasi. Kau tidak bisa belajar di rumahku. Bagaimana kalau kau pergi ke rumah Bertholdt atau Reiner? Biasanya mereka yang mengajarimu."
Tidak, aku tak mau bertemu dengan Bertholdt sejak ia diketahui seorang alfa. Reiner? Dia teman yang paling bisa diandalkan, tetapi tidak, aku juga tak ingin melihat wajahnya sekarang. Aku berjuang mati-matian seharian ini agar tidak melihat wajah Jean, Sasha, ataupun Connie.
Mereka semua alfa.
Mereka semua membuatku berhalusinasi akut. Aku bisa melihat kepala gundul Connie menumbuhkan rambut hitam kelam. Sasha menjadi laki-laki pendek. Jean tiba-tiba menjadi tampan seperti bos mafia di depan toko senjata.
Aku sedang tak ingin bertemu atau melihat wajah alfa mana pun, kecuali Armin.
Bahkan aku tak ingin melihat wajah Mikasa di rumah. Aku tak mau pulang ke rumah. Aku tak ingin tidur malam dan bermimpi buruk lagi.
Kulirik jam digital di pergelangan tangan Armin. Masih jam setengah lima sore. "Kita belajar di sini saja, di kelas," pintaku. "Kita belajar sekarang."
Jean tersandung dengan sengaja di sebelah kursiku. "Awas! Jangan pulang terlalu malam. Zombi akan melayang kemari memakan kalian murid-murid yang pulang larut malam."
"Enyahlah, Jean." Kulempar pensil sampai mengenai kepala berambut cokelat abu-abunya. Memeleset. Berengsek.
Jean pergi. Sasha dan Connie berpamitan hendak menonton film superhero terbaru di sinema tua, yang ada di belokan jalan menuju toko kelontong Paman Hannes. Connie dan Sasha mengajakku menonton meski tahu aku tak mungkin bisa ikut. Kuusir mereka dengan rasa kesal.
Akhirnya hanya ada aku dan Armin berdua di dalam kelas bimbingan belajar.
Apa daya otakku berkapasitas minim. Armin harus mengulangi setiap soal matematika sedikitnya tiga kali sampai aku paham. Lama-kelamaan, langit tampak gelap di luar jendela kelas.
Jam tangan Armin berkedip kebiruan. Sudah tiga jam. Sudah pukul delapan malam. Armin tidak lebih gelisah dariku. Angin di dalam perutku bergemuruh. Cacing di perut Armin sama ributnya. Kami saling pandang, mengangguk.
"Sepedaku dipinjam Mikasa untuk pergi ke tempat pelatihan menembak. Kita pulang ke rumah berjalan kaki," putusku.
"Lewat jalan belakang," pinta Armin. "Aku benar-benar lapar."
"Kalau kau sabar, kita pergi ke toko Paman Hannes. Ia pasti mau membagikan kentang goreng dan sosis."
Langit gelap. Angin dingin bertiup, menambah intensitas sunyi di sekitar kami. Tidak ada kendaraan melintas di jalanan. Armin memilih jalan kecil di halaman belakang sekolah karena lampu-lampu jalannya bersinar seterang ribuan watt. Ini satu-satunya jalan pintas menuju kota ramai di mana kami bisa memanggil taksi. Aku tahu Armin takut gelap.
Bagaimana seseorang yang lemah, takut gelap, mudah sakit, dan lebih pendek dariku ini dapat terlahir sebagai alfa?
Armin Arlert tersandung kaleng minuman di tengah jalan. Kupegangi lengannya dengan kuat dan berdecak.
KAMU SEDANG MEMBACA
X [RivaEre Fanfiction]
AzioneProsesnya menahun. Bertahap, bertingkat, berlanjut tanpa jeda. Saat terjadi, segalanya berlangsung cepat. Tidak ada pernyataan ofisial. Namun, mereka sepakat menamainya Peristiwa X karena huruf X tersebar di mana-mana; di dinding, besi tiang jemuran...