Bab 40: Human = Monster

264 49 7
                                    

Renungkan siapa monster sesungguhnya.


PIPIKU membentur salju dengan keras. Siapa sangka Pieck punya kekuatan otot berlebih pada kedua tangan yang selalu ia pakai berjalan. Ditindih dan diikat sangat erat oleh gadis itu, aku tak bisa bergerak.

Di sampingku, pipi Armin ikut membentur tanah. Kami saling melirik.

Connie, Jean, Kakek Arlert, dan Sasha diikat tak jauh dari kami. Hannes berlutut di tengah-tengah.

Xavi diseret karena melawan. "Bajingan tengik! Orang pinggiran! Kau tak tahu siapa aku. Kalian akan habis di tangan ayahku sebentar lagi! Kalian akan habis dengan kepala kalian terlepas dari badan kalian dan—"

Aku tak bisa mendengar kelanjutan kata-kata dari mulut Xavi. Pipinya dibenturkan ke tanah seperti kami.

Kelompok HOMETOWN datang mengeroyok. Ada empat kendaraan baja di luar pagar dan mungkin akan datang lebih banyak lagi. Mereka menenteng senapan tempur dan pistol kaliber berat yang tidak disarungkan lagi. Tak ada niat lain selain menghabisi kami.

Reiner bergerak di atasku, melangkahi kepalaku sambil menatap kami satu per satu sekecil kutu. Aku belum pernah melihat tubuhnya sebesar itu. Tepat di belakangnya, samar-samar aku melihat seekor hewan buas.

Tidak.

Ternyata hanya Zeke. Tubuh kami ditarik dan dipaksa berlutut, menghadapnya.

"Oke. Apa kabar semuanya? Kurasa sudah cukup lama kita main tarik ulur, kejar-mengejar seperti tikus dan kucing. Sudah saatnya semua ini diakhiri," kata Zeke ringan.

"Aku tidak mengerti! Apa yang kalian mau dari kami?!" Hannes memekik.

Zeke mengerjap. Ia membuka mulutnya sebentar, tetapi jawaban yang keluar hanya seringai ringan. "Apa yang kami inginkan? Banyak! Pertama, kalian cukup berbicara ketika ditanyai."

"Kau tak bisa berbuat seenaknya kepada kami," Hannes menjerit, lalu berguling ke samping. Seorang alfa menendang perutnya keras.

Aku menggeram melihat Hannes memuntahkan darah.

"Apa yang kubilang barusan?" Zeke memutar mata. "Bicara hanya ketika ditanya. Maafkan aku."

"Kau tak punya hak untuk melarang kami bicara," Armin menggeram.

"Armin," aku berdesis, "sebaiknya kita diam."

"Benar, sebaiknya kau diam. Kecuali kau bisa bersuara bagus. Sori, Arlert." Reiner menodongkan pistol kaliber .45 kepadanya.

Armin bergetar. "Reiner ... kenapa kau, Annie, dan Bertholdt—"

"Arlert, sekali lagi kau bicara," Reiner mengalihkan senjatanya kepada Kakek Arlert, "kau tak akan menginginkan ini."

Sosok jangkung turun dari salah satu mobil dan sedang merawat luka tusukan paku di betis Annie. Dia adalah Bertholdt dengan kedua tangan yang utuh sempurna.

Aku tak mungkin salah melihat. Aku sudah memotong tangannya kemarin pagi. Kini seolah-olah tangan itu sudah bertumbuh lagi!

"Ada satu lagi di belakang mobil ini!" Seseorang di antara mereka berteriak.

Mereka menemukan Eren dan mendorongnya ke tanah. Eren meringis sembari memegangi perut, meronta. Ranselnya disita, ampul-ampul obat bius Levi berjatuhan ke tanah.

Di atas punggungku, Pieck menindih lebih kuat. Kedua tanganku dikunci menyakitkan.

"Oke, tim sudah lengkap? Kumulai pertanyaan pertama." Zeke bergerak perlahan ke arah Connie yang berlutut ketakutan di paling ujung. "Jawab. Kalian sedang ingin pergi ke mana?"

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang