Bab 12: Tension

864 148 63
                                    

┏━━━━━━━━━━━━━━━┓

Note:

Pada bab 12 ini ada sesuatu yang berbeda dan tidak ada di buku.

Silakan cek PDF buku lama di KaryaKarsa jika kamu penasaran apa saja perbedaannya.

Versi mana yang lebih kamu suka?

┗━━━━━━━━━━━━━━━┛



KOTA yang kami lewati berikutnya berupa dusun kecil yang kelabu. Aku terbatuk karena tumpahan abu.

Langit oranye senja, sebentar lagi matahari terbenam. Gedung-gedung kecil yang kami lewati meredup gelap. 

Aku hanya bisa melihat beberapa ekor burung pemakan bangkai di tempat ini. Tidak ada mayat hidup di mana pun, atau mungkin aku yang tidak bisa melihatnya. Pandangan mataku buram sejak keluar dari Ragako. Dadaku ngilu bukan karena pukulan atau dekapan geng preman berewok tadi.

Levi memarkir motor di depan toko senjata. Dia bergerak cepat. Tubuhnya tampak serbahitam seperti ninja di dalam komik, menghilang sebelum aku sempat mengawasinya.

Aku menunggu di luar, bersandar di motor, termenung. Sambil terbatuk menghirup debu, kuraba leher kananku, merasai tekstur kulit yang mestinya berkerut kasar karena bekas luka digigit oleh si preman. Aku mungkin harus mencari plester di apotek.

Anehnya, jariku tidak menemukan luka tersebut.

Aku harus bercermin pada spion motor Levi untuk memastikan. Tidak ada bekas gigitan. Tidak ada luka di leherku.

Dahiku berkerut. Aku berani bersumpah aku merasakan sakit ketika preman itu menggigitku. Mestinya leherku sedikit terkoyak. Ngilu gigitannya masih terasa hingga kini. Masih ada darah mengering di pinggir kerahku sebagai bukti.

Tiba-tiba dari kaca spion motor Levi, tampak makhluk mungil bergerak di belakangku. Aku terkesiap, berbalik untuk menyerang.

Hanya seekor anjing liar.

Anjing sehat ini mendekatiku, jinak, menggonggong minta makan. Dia menjilati ujung sepatuku. Aku ingin menepuk kepalanya, tetapi menahan diri. Aku mengusirnya, menendangnya lembut dengan sisi sepatuku.

Levi keluar dengan sekantong granat sisa semenit kemudian. Dia menatapku dan anjing itu dalam diam. 

Hening.

Tidak satu pun dari kami berbicara sejak keluar dari Kota Ragako.

Aku tak tahan lagi.

Aku memulai. "Preman tadi menggigit leherku. Kau lihat, kan?"

Levi diam, sibuk mengisi ranselnya dengan amunisi.

Kunaikkan nada suaraku. "Preman berewok tadi terinfeksi karena menggigit leherku."

Levi akhirnya memberikan atensinya padaku. Kubiarkan Levi menarik terbuka kerah sweterku, memeriksa leherku, area di mana si preman berewok menggigitku. Tentu saja dia juga tidak menemukan luka apa pun. Bisa kulihat mata Levi begitu gelap saat menatap leherku.

Aku menelan ludah, menjauhi jangkauan tangannya. "Seperti yang kaulihat, baru tiga jam kita keluar dari Ragako, tapi luka di leherku sudah sembuh total. Kau tahu apa artinya? Aku punya kemampuan–"

"Simpel. Artinya tidak pernah ada luka," potong Levi.

Sesuatu yang panas di dalam diriku menggelegak. Aku ingin marah dengan sikap dinginnya.

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang