Bab 34: Not Our Hometown

232 62 2
                                    

Peringatan: Ada adegan berdarah dan adegan yang mungkin membuat mual, jangan dibaca saat makan





SEMENJAK tinggal di HOMETOWN, aku sudah tak  pernah lagi menghitung waktu. Itulah sebabnya aku tak tahu berapa lama waktu yang kami habiskan untuk keluar dari tempat itu. Bagiku, dan mungkin Eren, segalanya terjadi secepat kekuatan cahaya. Tiga menit? Tiga puluh detik? Entahlah.

Saat pintu ganda supermarket di lantai atas roboh, diterjang gerombongan mayat hidup, yang kulakukan adalah menarik Eren dan menggendongnya pergi. Biar saja Eren meronta.

"Jangan tinggalkan Kakek Arlert!" Eren berteriak. Tentu saja. Namun, tanpa Eren meminta pun, Reiner dan timnya sudah menggiring tiga tawanan mereka untuk melarikan diri bersama mereka.

Annie, Kemper, dan Lou berada tepat di belakangku saat kami berlari menerobos koridor gudang penyimpanan. Aku tidak tahu di mana Reiner dan Kakek Arlert. Hanya suara senjata api bergemuruh mereka yang terdengar seperti lontaran martil di telingaku.

Kami memasuki tangga pintu darurat. Kemper terlambat menutup pintu. Zombi omega berperut buncit (apakah dia hamil?), yang hanya memiliki sebuah tangan, berhasil mendobrak. Giginya terkatup-katup dan cairan lambungnya menetes deras. Kemper mendorong perut buncit zombi itu hingga terjatuh, lalu mengganjal pintu dengan tongkat besi yang diberikan Annie. Melihat zombi buncit itu, Eren meringis dan memaksaku menurunkannya dari gendongan.

Di lantai pertama, kami bertemu kembali dengan Reiner dan lainnya yang baru saja berlari dari arah eskalator. Kakek Arlert bersama mereka.

Namun, lobi utama sudah dipenuhi oleh mayat hidup. Kulempar belatiku menembus leher salah satu mayat yang berlari mendekat. Aku melompat ke atas makhluk itu dan menghunjamkan belatiku lebih dalam dengan cara berputar. Eren meremuk kepala mayat dengan kapaknya. Ia memukul kuat sekali sampai tengkorak makhluk itu terbelah dua. Bertholdt menembak sisanya. Kami berlari lebih dahulu.

Keluar lewat pintu belakang, kami berlari memutari gedung untuk mencapai truk. Selalu ada korban di tengah pelarian. Salah satu dari pencuri yang terluka di perut terjatuh, diseret kakinya oleh tiga pasang tangan busuk. Lelaki itu menjerit minta tolong dengan matanya tertuju kepadaku, sebelum kulihat sisi lehernya dilumat.

"Cih, biarkan saja!" Kemper meneruskan larinya.

Eren berdecak penuh penyesalan, terus berlari ke arah truk. Ketika itu, lari Kakek Arlert melambat. Paru-parunya pasti terbakar. Ia menjeda sejenak untuk menarik napas, lalu tungkainya tak kuasa berdiri di atas salju licin itu. Tepat ketika itu, mayat ganas menerkam Kakek Arlert dari belakang.

"Kakek Arlert!"

Eren berlari putar arah. Ia memukul sangat brutal dan mencabik leher belakang mayat alfa tersebut dengan kapaknya. Mayat itu menggelepar tak berdaya selagi Eren memapah Kakek Arlert berdiri. Aku mengembuskan napas lega.

Bunyi kaca pecah terdengar dari atas. Makhluk-makhluk itu berlompatan dari tingkat dua. Kepala mereka membentur tanah dengan keras, lalu mereka berdiri mengejar kami.

Lou berdiri paling dekat di bawah jendela, menjerit, menembaki makhluk-makhluk yang mendekat.

Lebih banyak mayat yang datang. Di tengah salju, lari mereka memang tidak secepat yang biasanya, tetapi tak dapat dihentikan. Kemper berteriak agar Lou memburu langkahnya. Lelaki culas itu menembak sekali lagi, kehabisan amunisi, dan melemparkan senjata apinya ke mayat terdekat.

Eren berlari di samping Lou saat itu, tepat ketika makhluk mati merangkak dan berusaha menerkam betis kering Lou.

Tiba-tiba, Lou mendorong Eren ke samping, menjatuhkan saudaraku tepat ke atas tubuh mayat hidup yang merangkak. Tangan berbelatung segera merengkuh Eren, kemudian gigi tajamnya memburu kelenjar di leher Eren. Aku berbalik, menjerit gila panik dan murka. Aku tak sempat menggapai Eren—

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang